Senin, 19 Januari 2009

PELATIHAN LEADERSHIP KKMI TRIPOLI 2009


Pada Jum’at, tgl. 16 Januari 2009 saya kebagian berbicara dalam training Leadership Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI) Tripoli yang belajar di Kulliyah Dakwah Islamiyah (KDI). Minggu-minggu sebelumnya yang menjadi pembicara Duta Besar RI untuk Libya, Drs. Sanuis dan Kepala Kanselerai KBRI Tripoli, Drs. Endang Setiady dan tokoh masyarakat Indonesia di Tripoli, Bapak Agus Widjiastono.

Dalam kesempatan tersebut, panitia meminta saya untuk berbicara mengenai Maind Setting dan Creative Problem Solving. Menurut saya, (saya sampaikan kepada panitia) tema mengenai Maind Setting itu terlalu berat bagi ukuran mahasiswa yang tidak punya latar belakang kajian dan keilmuwan serta pelatihan lainnya, karena lebih dekat pada pendekatan psikologi. Walaupu saya dan Tim saya pernah melakukan training tersebut bagi Pejabat Eselon IV se Sumatera Selatan (Sumsel) selama dua angkatan pada tahun 2004.

Dari acara yang terjadi, benar dugaan saya bahwa para mahasiswa Indonesia di Tripoli belum punya pengalaman yang signifikan dalam acara semacam itu. Berbeda dengan mahasiswa di tanah air yang kaya dan banyak pengalaman dalam acara-acara serupa. Karena selama bekerja di KBRI dan bergaul dengan alumni KDI saya tidak mendapatkan mereka punya pengalaman tersebut. Bahkan saya terkejut dengan prinsip mereka yang bila ditinjau dari sudut pandangan ajaran Islam… wuah saya gak bisa katakan. Sebagai mukaddimah saya melakukan test case dengan meminta mereka membuat dan merumuskan persoalan yang dihadapi oleh diri masing-masing dengan menuliskan dan membuat langkah serta tahapan solusi. Rata-rata rumusan persoalan yang dibuat masih mengambang, tidak jelas dan umum. Bagaimana bisa sampai pada tujuan apabila perumusan untuk mencapai tujuan tidak bisa dirumuskan dengan baik. Kalau boleh saya contohkan, misalnya kita mau pergi ke suatu tempat, ke Bogor misalnya menggunakan mobil pribadi. Pertama apa yang harus dipilih, lewat jalur lama atau lewat tol. Tentukan dulu. Kalau lewat tol, kita masuk lewat pintu gerbang tol mana dan keluar di pintu tol mana. Kemudian ambil jalan apa dan seterusnya. Saya contohkan juga pada mereka kita menaiki tangga ke ruang atas. Harus melangkah tangga pertama, dua, tiga dst. Jangan dibalik tangga kelima jadi kesatu dll.

Persoalan simple diatas jika saya hubungkan dengan pengurusan khatib jum’at di KBRI yang dikelola KKMI menjadi kenyataan. Selama hidup saya, saya tidak pernah mendapatkan khatib salah dan tidak benar, kecuai oleh mahasiswa Kulliyah Dakwah Islamiyah (KDI) di Tripoli. Apalagi khutbah jum’at tersebut merupakan bagian dari ibadah shalat jum’at itu sendiri. Berdosa semua, baik khatibnya maupun panitianya yang memberikan kesempatan tersebut. Saya juga mengatur masalah jadual khatib di Universitas Paramadina (UPM) di Jakarat dan khatibnya juga mahasiswa tapi tidak sampai salah fatal. Bravo…..Paramadina.

Saya sudah ingatkan ketua Seksi Dakwah KKMI, juga Panitia Khatib bahkan Ketua KKMI-nya sendiri. Tapi kesalahan itu masih tetap saja ada dan berlangsung tiap jum’at. Itulah contoh apa yang saya gambarkan diatas…. Persoalan yang mudah saja masih tidak bisa merumuskannya dan jalan keluarnya, yah.. jangan bicara soal yang pelik dan rumit.... perjuangan umat…yah masih jauh api dari panggang …..

12 komentar:

firdaus mengatakan...

tawadhu' dan etika menyampaikan kritik
Salah atu ciri khas seorang alim (yg berilmu) adalah sifat tawadhu'. sehingga semakin tinggi ilmu seseorang semakin tinggi pula tingkat ketawadhuannya, dan di sisi lain akan semakin tinggi pula pengakuan dan penghormatan yang diberikan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Karna itu mungkin sejak lama di negara kita orang mengenal istilah "ilmu padi" dimana semakin tinggi dia tumbuh akan semakin menunduk. juga pepatah yang mengatakan "tong kosong nyaring bunyinya". ga salah kalo dimana-mana sifat rendah hati selalu diajarkan kepada anak2 di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren dan selalu diulang-ulang di mimbar-mimbar masjid. intinya, sifat tawadhu' penting dan sangat penting..
Sifat ini tidak bisa dibuat-buat, dia tumbuh dengan adanya kesadaran dan adanya pengendalian diri yang tinggi..karna mereka yang tidak bisa mengendalikan nafsu "takabbur" yang memenuhi hatinya ga akan bisa memunculkan aura tawadhu' ini, bahkan walaupun dia sudah berusaha membungkuk2kan diri ketika berjalan atau menunduk2 misalnya. karna ketika sifat takabbur tadi sudah menguasai diri, dia akan senantiasa mengalahkan sikap tawadhu'.

Sebuah contoh kecil, seseorang yang pernah menjadi dosen misalnya di sebuah universitas yang katanya menjunjung tinggi kebebasan berfikir sehingga otomatis para mahasiswa nya pun akan lebih "open minded" dibanding mereka yang berada di timur tengah....khususnya mungkin di libya ini (katanya)..nah dengan latar belakang yang demikian mungkin akan timbul suatu sikap takabbur tadi yang terefleksi dari tulisan-tulisan yang saya rasa sangat menginjak-injak dan sangat tidak mungkin ditulis oleh mereka yang menganggap diri terpelajar!!

Tapi seperti saya katakan tadi, fenomena "takabbur" tadi dan tidak adanya sifat tawadhu' dalam bersikap menunjukkan dengan jelas sampai dimana tingkat keilmuan yang dimiliki seseorang...ingat ilmu padi yang baru saya sebutkan di atas..?? satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan bagi saya adalah, apakah kesalahan fatal yang di buat oleh para mahasiswa disini kepada beliau tersebut misalnya sehingga sikap yang muncul dari beliau yang terhormat dan berilmu tadi begitu penuh dengan unsur "dendam"...? (hal ini tercermin di setiap tulisan beliau tentang mahasiswa libya)

Setiap tempat mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. semua orang tanpa harus menjadi dosen di universitas paling canggihpun akan menyadari ini. sehingga sangat tidak adil ketika suatu hal dikritik dan bahkan dicerca sedemikian rupa seolah tiada sedikitpun kebaikan di sana. sebagai contoh perbandingan, saya ambil perbandingan mahasiswa Libya dengan Mesir (karna hal ini pernah menjadi bahan perbandingan di salah satu tulisan tentang "kelemahan" mahasiswa Libya). Kawan-kawan di mesir lebih beruntung dengan aktifitas keilmuan yang banyak (seperti seminar-seminar, diskusi, aneka pelatihan de el el, dan suasana keterbukaan yang tidak dimiliki oleh mahasiswa libya. namun disisi lain apakah dengan begitu sisi keilmuan mahasiswa libya jauh tertinggal? saya berani menjawab dengan pasti, TIDAK. Dalam kasus-kasus seperti ini kita tidak bisa memakai kata "seluruh". Kalau per personal mungkin ada yang lebih baik dan juga ada yang lebih buruk....ini berlaku ketika membuat perbandingan antara universitas manapun.
Toh sebelum berangkat ke libya banyak kawan-kawan yang sudah malang melintang di aktifitas-aktifitas luar dan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang tentunya tidak kalah dengan aktifitas pemikiran mahasiswa mesir. Sehingga terdengar aneh di telinga saya ketika ada yang menganggap bahwa mahasiswa Libya (tanpa ada redaksi pengecualian) sangat terbelakang. Kalaupun ingin mengkritik mahasiswa Libya dari sisi ini saya rasa ada cara yang jauh lebih baik dan terpuji yaitu misalnya dengan mengatakan bahwa "sebagian" mahasiswa Libya kurang bahkan tidak pernah sama sekali mendapatkan aktifitas keilmuan di luar kampus sehingga kurang merangsang aktifitas berfikir mereka sebagai mahasiswa, tentunya dengan menyebutkan pebedaan kondisi libya dengan mesir misalnya, dan tanpa memberikan kesan bahwa sama sekali tidak ada kebaikan ataupun segi-segi hal yang pantas dibanggakan.

Dari segi lain, kita ambil misalnya dari perkuliahan, apakah mahasiswa disana juga lebih baik dari mahasiswa disini? Sehingga kemudian ada yang menganggap "pokoknya mahasiswa mesir jauh lebih baik dan mahasiswa libya ga bisa apa-apa....pokoknya tertinggal jauh......(kalau sudah begini susah). toh banyak mahasiswa di mesir yang seolah tidak kuliah karna sibuk dengan aktifitas di luar kuliah...bahkan banyak dari mereka misalnya yang kemampuan bahasa nya tidak menunjukkan kemajuan karna selalu bergaul dengan sesama mahasiswa indonesia dan sangat jarang mengikuti kuliah....tapi apakah kita harus megeneralissasi bahwa seluruh mahasiswa mesir ga becus berbahasa arab?? pasti tidak.

Seorang kawan yang saat ini berada di mesir pernah bercerita bahwa ketika ia berbincang-bincang dengan mahasiswa turki di cairo, si turki tersebut terkaget-kaget ketika mengetahui dia seorang mahasiswa indonesia...karna yang dia tau, mahasiswa indonesia di sana ga da yang bisa berbahasa arab selancar itu....ini hanya sebuah gambaran karna saya yakin si mahasiswa turki tadi masih "kurang gaul" dengan mahasiswa indonesia....karna yang lancar berbahasa arab juga banyak dan bahkan juga lebih baik dari banyak mahasiswa Libya........nah, seperti saya katakan tadi, ta'mim atw generalisasi sebuah kasus terhadap yang lain adalah penodaan terhadap objektifitas penilaian terhadap sesuatu...apapun itu.

Nah untuk kasus di atas, kita tidak bisa mengatakan mahasiswa Libya lebih unggul dari mahasiswa mesir ataupun sebaliknya karna masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. jangan sampai fanatisme almamater membuat kita memandang rendah yang lain karena adanya kekurangan di sana sementara di sisi lain kita melupakan kekurangan-kekurangan yang ada di diri sendiri...bukankah Rasul SAW pernah bersabda : Thuubaa Liman Syaghalahu 'Aibuhu 'an 'Uyuubinnaas.."...semut di seberang lautan terlihat tapi gajah yang di depan hidung sendiri ga keliatan....ini hanya akan terjadi ketika fikiran dipenuhi kebencian dan dendam sehingga kesalahan yang nampak di salah satu sisi, dan di beberapa personal langsung di ta'mim dan divonis menjadi kesalahan semua dan akhirnya seolah menganggap tidak ada kebaikan sama sekali disana.

Saya sendiri berharap tulisan-tulisan tentang mahasiswa Libya yang saya baca di sebuah blog dan saya rasakan "tidak pantas" itu tidak berangkat dari kebencian. Karna ketika ia berangkat dari kebencian maka akan hilang nilai objektifitas disana. Tidak banyak pelajaran kuliah yang membekas kuat di otak saya, namun salah satu hal yang masih saya ingat dengan jelas adalah sebuah nilai yang saya ambil dari buku "Waroqot fil Bahtsi wal Kitabah". Bahwa satu hal yang harus diperhatikann betul oleh seorang penulis ketika ingin menyimpulkan hasil penelitiannya adalah bahwa jangan sekali-kali men"ta'mim" suatu masalah sebelum betul-betul yakin akan kesahihannya. Karena itu harus berhati-hati menggunakan kata-kata "seluruh, semua" tanpa pengecualian…..karena walaupun kita melihat fenomena itu terdapat di sebagian besar, akan selalu ada sebagiann kecil atau bahkan sama besar yang "berbeda". Dan saya kira untuk hal ini tidak membutuhkan contoh lagi, karena apa-apa yang saya paparkan di atas walaupun tidak menyeluruh sudah cukup mewakili.

Seperti yang sering diulang-ulang oleh guru saya di pesantren dulu, "in uriidu illal islaah" catatan ini saya buat dengan harapan islah dan dalam rangka saling mengingatkan. Bukankah ini yang harus selalu dilakukan seorang muslim terhadap saudara muslim lainnya? Saya, dan para mahasiswa disini sangat terbuka dan menghargai setiap masukan dan kritikan yang diberikan kepada kami, sehingga dengan menampung saran dan kritik tersebut bisa memperbaiki diri dan melangkah menyongsong hari esok yang lebih baik. Apalagi ketika kritik itu datang dari seorang yang lebih "alim" dan jauh lebih berpengalaman, tentunya kritik yang diterima adalah kritik yang "terpelajar" dan "sedikit bernorma" dan karena yg melontarkan kritik adalah seorang yang sangat terpelajar tentunya "beliau" lebih memahami tentang tercelanya sikap "ta'mim" dalam objektivitas penilaian.

Dan kembali ke pembahasan awal di atas, sudah sepantasnya masing-masing dari kita memeriksa kembali kadar "tawadhu'" dan "takabbur" yang berada dalam diri kita dan kemudian berusaha meningkatkan dan menghiasi sikap dan prilaku dengan tawadhu' karena setahu saya (sebagai mahasiswa Libya yang sama sekali bodoh dan tidak bisa apa-apa) sikap tawadhu' lah yang senantiasa diperintahkan Allah dan Rasulnya dan bukan kebalikannya.

Imaroh 106/3/1
18:50 waktu Tripoli


21 februari 2009
aksara-semesta.blogspot.com

Nabil Abdurahman mengatakan...

Baru kali ini saya melihat ada seseorang yang di undang untuk menjadi narasumber dalam sebuah training (pelatihan, sekali lagi acara pelatihan; bukan dialog atau debat apalagi ujian) yang setelah mengisi acaranya langsung berkoar-koar sekenanya: mulai dari temanya yang terlalu berat bagi para peserta, para peserta yang belum punya pengalaman dengan materi seperti itu, kemudian di hubungkan dengan ketidak pahaman para peserta dengan hal-hal yang ada kaitannya dengan ajaran Islam, bahkan bukan hanya para peserta saja yang jadi sasarannya tapi satu komunitas plus dengan alumni-alumninya.
Perlu saya garis bawahi kenapa saya mengataan “sekenanya”, inilah beberapa alasannya:
- Suatu “pelatihan” diadakan oleh sebuah panitia –apapun itu bentuk pelatihannya dan siapapun itu panitiannya- pasti bertujuan agar para pesertanya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan, dan pasti menginginkan acaranya diikuti oleh seluruh calon peserta.
Jadi karena keinginan tersebut, biasanya panitia mencari-cari tema yang kira-kira bisa menarik minat para calon peserta, nah salah satunya dengan cara memilih tema yang menarik atau kadang tema yang kira-kira jarang sekali para peserta mendapatkannya atau bahkan tema yang dianggap baru di depan para pesertanya.
Oleh karena itu, apa yang di katakan oleh bapak dengan alasan-alasan tersebut sangat kurang tepat sekali –kalau bapak tidak rela kalau saya katakan: “asal ngomong, so banget”-, karena begitulah hal-hal, sifat dan tujuan sebuah pelatihan diadakan. Jadi si pematerilah yang seharusnya bisa mengetahui dan menyesuaikan apa yang mau di sampaikan dan siapa serta bagaimana tarap pengetahuan/keterampilan para pesertanya.
Kalau boleh ngambil contoh, misalkan saja ada 2 kelompok orang yang ingin mengetahui suatu hal yang sama dari segi tema materi, katakanlah kelompok (1) sekelompok orang yang duduk di bangku SLTP dan kelompok (2) duduk di bangku kuliah –karena saya melihat bahwa bapak menganggap kami mahasiswa yang belajar di Libya seolah-olah masih duduk di tingkat SLTP dan selain kami duduk di tingkat kuliah atau di atasnya-, dan katanlah juga bahwa tema materi tersebut “Peran aktif abdi bangsa dalam memajukan Bangsa dan Negara” . Dari tema tersebut sangat jelas bahwa kedua kelompok tersebut menginginkan sebuah cara, solusi, dan hal-hal apa saja dalam ikut serta memajukan bangsa dan Negara.
Kalau di lihat dari tema tersebut, bagi sebagian orang -yang kurang bisa melihat secara dalam dari tema, tujuan di pilihnya tema tersebut dan hikmah yang bisa di ambil darinya- akan mengatakan: “baru sekolah di SLTP kok bisa-bisanya muncul keinginan untuk ikut serta memajukan bangsa dan Negara, itu kan tidak sesuai dan terlalu berat untuk ukuran setingkat itu”. Padahal kalau di ambil baiknya dia bisa mengatakan: “wah bagus juga nih masih duduk di bangku SLTP, tapi sudah punya keinginan untuk memajukan bangsa dan Negara. Baiklah kalau gitu saya akan menunjukan beberapa cara yang pantas dan sesuai dengan jenjang dan kemampuan anda-anda semua, dan salah satu caranya dengan cara belajar yang baik dan jangan coba-coba dengan yang namanya “drag”; karena Bung Karno dan Bung Hatta tidaklah akan menjadi seorang tokoh proklamator kemerdekaan RI kecuali mereka berdua sebelumnya tekun belajar dan tidak pernah terlibat dengan mengkonsumsi obat-obatan terlarang…”.

- Sedangkan tuduhan Bapak yang menganggap bahwa para mahasiswa Indonesia yang belajar di Kuliah Dakwah Islamiah (KDI) dan alumninya tidak faham dan mengerti dengan ajaran Islam, dan bapak mencontohkannya dengan persoalan yang menurut bapak simple yaitu Khutbah Jum’at dan pengurusannya, adalah sebuah tuduhan yang ada unsur pencemaran nama baik almamater secara keseluruhan yang dampaknya bisa mengakibatkan hal-hal yang kurang baik -seperti bapak juga mengetahuinya, atau emang itu yang di inginkan bapak dengan setatemen tersebut-. Hal ini saya katakan karena:
1. Bapak mengambil kesimpulan akan suatu hal hanya dari satu kasus, juga menggeneralisir kesalahan suatu komunitas hanya dari beberapa anggotanya.
2. Bapak tidak menjelaskan secara detail kesalahan apa yang telah dilakukan oleh beberapa orang tersebut dalam kaitannya dengan khutbah jum,at tersebut: apa karena tidak memenuhi syarat-syarat dan atau rukun-rukun khutbah atau yang lainnya. Mengenai hal ini kalau saya ambil sederhananya saya rasa seseorang yang belum mengetahui syarat dan rukun khutbah dan ingin menjadi khotib pun secara tanpa sadar sudah bisa melaksanaknnya; karena seperti yang kita ketahui bahwa syarat-syarat tersebut: berdiri, bersuci, menutup aurat, duduk di antara dua khutbah. Sedangkan rukun-rukunnya: bertahmid kepada Allah swt, bersolawat kepada Nabi saw, berwasiat taqwa, membaca salah satu ayat al-qur’an dan berdo’a bagi muslimin muslimat (dalam pendapat madhab syafe’i). Karena syarat-syarat tersebut sudah lumrah di lakukan oleh orang yang mau melakukan shalat selain syarat terakhir yaitu duduk di antara khutbah, dan karena rukun-rukun tersebut juga sudah lumrah bagi orang yang mau mengisi pidato-pidato keagamaan yang biasanya memulai pidatonya dengan itu, dan biasanya dalam berbahasa arab.
Oleh karena itu saya rasa beberapa orang mahasiswa yang bapak katakan: “khatib salah dan tidak benar”, itu telah dan bisa melaksanakan hal tersebut, apalagi latar belakang dari mahasiswa Libya ini berpendidikan di pesantren-pesantren yang beragam basis: ada NU, Muhamadiyah, persis, al-wasliah, gontor, LIPIA, ma’han emirat, ma’had ustman, dll.
Atau kalau bapak melihat tidak benar dan salahnya tersebut dari segi uraian khut’bah; bukan syarat dan rukun, saya ingin mengatakan sekaligus menanyakan kepada bapak: al-qur’an itu satu; tapi kenapa ada banyak beberapa kitab tafsir dan penafsiran?, syariat itu satu; tapi kenapa ada beberapa madhab fiqih?, Rasul dan Nabi itu utusan Allah swt; tapi kenapa ada yang pernah melakukan kesalahan?
Jadi kalau kesalahan dan ketidakbenarannya tersebut tidak menyangkut hukum qot’I dan sorih -seperti mengatkan bahwa shalat, puasa, zakat, menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua itu tidak wajib-, saya rasa kurang baik menyalahkannya dengan cara begitu dan dengan berkoar-koar serta menginformasikannya ke semua orang –dengan menuliskannya di internet yang bisa di akses oleh siapa saja-, dan dengan menggeneralisir semua mahasiswa KDI bahkan alumni-alumninya.

- Bapak menyinggun-nyinggung alumni KDI yang seolah-olah semua alumninya, saya lihat tidak banyak alumni KDI yang masih berada di Libya ini, kecuali kurang dari 4 orang, dan di antaranya bekerja satu profesi dengan bapak di instansi tempat bapak bekerja. Jadi kalau yang bapak maksud dengan alumni Libya tersebut mereka itu, saya kira sangat kurang tepat sekali apabila mereka itu kurang bisa membuat dan merumuskan persoalan yang dihadapi oleh diri masing-masing dengan menuliskan dan membuat langkah serta tahapan solusi. Karena kalau memang demikian, kok mereka bisa terus bekerja satu profesi dengan bapak di instansi pemerintah tersebut, dank kok gak di berhentikan dari pekerjaannya. Malahan ada mahasiswa yang lainnya yang di rekrut untuk bekerja di instansi tersebut yang jabatannya tidak beda jauh dari bapak. Itu membuktikan bahwa mereka mampu membuat dan merumuskan persoalan yang dihadapi oleh diri masing-masing dengan menuliskan dan membuat langkah serta tahapan solusi, walaupun baru tamatan S1, tidak seperti bapak yang sudah banyak gelar dan pengalamannya.
Oleh karena itu saya ingin mengatakan: “Persoalan begitu saja dah membuat bapak “sewot gitu lho”, yah.. apalagi soal yang pelik, rumit dan lebih dari itu.... yah itu mah cuman nyari-nyari korek api untuk membakar rumah yang sedang di bangun …..”
Ditulis oleh salah satu mahasiswa KDI (Kuliah Dakwah Islamiah) Tripoli-Libya, imaroh 106/01/01 jam 18.00 waktu Tripoli.

Syaff mengatakan...

Salam. Daus, Nabil, personal kek gini gak usah di-ladenin, biarin aja. Soalnya Indo Banget, beliau masih belom bisa melepaskan diri dari sekat-sekat sekte keagamaan traditional indonesia. Parahnya lagi, kekagumannya dengan Paramadina yg pemikirannya cuma beredar dalam makalah-makalah yg secara real tidak diterima ummat itu - membuatnya menutup mata dari kelebihan orang lain. treatment juga gak ilmiah, dan cuma bisa mencaci.
jangan rendahkan imej kalian dengan berdebat pada orang yang mentalitasnya lebih dibawah. rugi lah, rugi waktu juga.

berbicara tentang mahasiswa mesir, saya juga kadang bingung.
bingungnya gini: klo di tripoli, klo saya mo kenalan dengan mahasiswa sana, dan pengen tahu kelas berapa serta sudah berapa tahun di Tripoli, biasanya saya cukup nanya singkat aja: "dah tahun berapa, dek? dan jawabannya biasanya juga singkat, tahun dua, bang! artinya si mahasiswa sedang kelas dua dan memang baru dua tahun di tripoli.

tapi, kalau pertanyaan yg sama saya ajukan ke mahasisawa mesir, mereka bingung menjawabnya. kalaupun ada yg sedikit cerdas, mereka biasanya memberi jawaban panjang,mislanya gini: "kalau kelasnya, baru kelas satu bang, tapi saya udah tahun ke tiga di Kairo ini". hahahahha.

nah itulah bedanya mahasiswa Tripoli dan Kairo. kalo mau generalisasi sih. gak tau, kalo pak yg punya milis ini dulu pernah memberi jawaban yg sama ketika ditanya "dah tahun berapa,latief?. "klo kelasnya sih kelas satu mas, tapi saya dah tahun ke lima di kairo ini. hik-hik-hik.
salam perdamaian, Syaff.

oasis musafir mengatakan...

Terima kasih atas semua tanggapan dan masukannya, walaupun semuanya lebih banyak berupa tuduhan kepada pribadi, bukan pandangan dan pendapat saya sebagai substansi. Untuk itu saya mengucapkan 'inna lillahi wa inna ilayhi rajiun' berbelasungkawa kepada saudara-saudara saya seiman dan seagama dan mahasiswa Kulliyah Dakwah Islamiyah yang gak bisa membedakan mana kritikan dan mana tuduhan. Sekali lagi Inna lillahi...dan berbelasungkawa..

Apa yang saya tulis adalah sebuah fakta. Sekali fakta. Karena saya, salah satu dari sekian jamaah yang mengerti dan juga mahasiswa yang lain - cuma saya care dengan persoalan ibadah tersebut. Hal ini bisa di cross ceck dan ditanyakan sdr. Nofriman yang shafnya ada disamping saya pada saat yang menjadi khatib sdr. Muntaha, disamping salah membaca ayat al-Qur'an - dan khatib-khatib sebelumnya juga sama salah membaca ayat Al-Qur'an, sekali lagi salah...gimana hukumnya dalam khutbah jumat salah membaca al-qur'an, pendapat Syeikh Yusuf Qardhawi, adalah haram - dia tidak melakukan rukun dan syarat khutbah, pada hari itu saya mengulang shalat saya dengan shalat zuhur.

Silahkan tanya Seksi Dakwah, Sdr. Afriansyah dan Sdr. Abdan yang saya ingatkan pada setiap selesai shalat...

Sdr. Afriyansyah yang juga diantara jamaah yang tahu dan sadar akan hal itu, dia menyatakan malu pada saya karena hal itu masih saja terulang. Dan sekarang setelah beberapa kali ada masukan dari saya, ahamdulillah khutbah sudah baik memenuhi hukum dan rukun. Saya katakan kepada Seksi Dakwah bahwa kgutbah jumat itu merupakan tidak bisa dipisahkan dari shalat dan berdosa kalau kita tahu tapi kita diamkan saja.(sudah tahu itu...) Dan saya gak mau kebagian dosa, makanya saya sampaikan kritik bukan kepada individu..tapi pada sistem...dan saya beritahu juga sistem administrasi pengelolaan khutbah, dsb. Jadi begitu kira-kira duduk persoalannya.



Kalau tuduhan yag antum-antum tuduhkan kepada saya dan juga institusi saya berada biarlah nanti Allah saja yang menghukumnya di mahkamah Allah SWT yaumil akherat...

Jadi, sekali saya mengucapkan belasungkawa dan 'Innalalillahi wa innailayhi rajiun'....




Coba baca baca paragraf terahir tulisan saya tersebut.

rahmatf21 mengatakan...

salamun ala manittaba'al huda
kepada si bapak dosen saya gak tau persis gimana kejadiannya, karena kebetulan lagi di indo. kebetulan nih saya alumni tripoli juga. kalau nggak salah orang kalau salah dalam membaca bacaan ketika sholat aja bisa diperbaiki kan yah? apalagi ketika cuma sedang khutbah, boleh kan kayaknya sang pendengar berbicara ataupun yah mengoreksi khotib, kalau nggak salah nih saya lupa riwayatnya, yg dulu rasul pernah bertanya kepada salah seorang sahabat sudah sholat sunnah 2 rakaat belum ketika masuk mesjid, kemudian sang sahabat bilang belum ya rasulullah, kemudian rasulpun menyuruhnya untuk sholat 2 rakaat dulu, itu ketika rasul sedang khutbah jum'at. kalau cuma masalah sepele begitu antum kan bisa ngomong langsung ke khotibnya dan mengoreksi sdr. muntaha kalau cuma salah bacaan ketika sholat, kalau antum tau itu salah ketika sholat kan bisa langsung dibenerin. apa saya yg salah? tapi yg jelas manusia tidak hanya dinilai dari ilmu, gelar dan titelnya kali yah pak.mungkin bapak yg udah bergelar Doktor dan merasa bangga dengan segudang pengalaman wira-wiri sana-sini, akan tetapi semua itu,ilmu yg tinggi itu tidak akan ada harganya di hadapan yg Maha Kuasa yg memiliki segala ilmu bila tidak diimbangi dengan ahlaqul karimah, salah satunya yah etika mengkritik, kalau bahasa kerennya sih org bilang politik win to win, bukan dengan semangat menjatuhkan org lain. kalau nggak salah rasul sendiri kan li utammima makarimal ahlaq, bukan hanya litasqifi ad-dimag (bukan cuma buat ngisi otak dengan wacana2 yg aneh2), toh pesannya rasul aja buat muadz bin jabal ketika mau ke yaman bilangnya disuruh permudah bukan dipersulit (tapi tetap aja masih harus dalam koridor agama) bukan langsung dengan semangat menjelekkan, dan menghina cuma karena segelintir orang yg cuma salah baca qur'an terus digeneralisasi, lagi pula kalau nggak salah tujuan digelar jum'atan di KBRI sebagai ajang persiapan anak KKMI buat terjun ke masyarakat di indo, toh sdr. muntaha juga masih belajar, dan butuh bimbingan dari bapak yg udah dosen dan banyak pengalamannya disana-sini. kalau ingat pepatah jawa ing ngarso sung tolodo (maaf akalu salah saya buka org jawa) jadi yg di depan itu yah bapak itu ngasih contoh, teladan buat kami2 ini anak muridnya, bukan langsung dicap bego bahasa kasarnya, apa mungkin bapak selama mengajar di paramadina dan al-azhar indonesia selalu menyalahkan mahasiswanya? wah kalau saya jadi mahasiswa bapak saya keluar dari kampus dosennya bego gak bisa ngajar, ngajar bukan hanya ta'lim tapi tarbiyah, membentuk karakter murid juga bukan hanya ngisi otak, kecuali dosennya menganggap mahasiswanya atw muridnya gak punya perasaan, kalau kayak gini yg bego dosennya atau mahasiswanya? salah satu dari ahlaqul karimah rasul adalah yah intinya tawadhu dalam mengislah org, mngkin saya berkata agak dan bahkan sangat kasar dalam komen ini karena seperti pepatah arab al-hadidu bil hadidi yuflah. sekian aja dari saya yg culun bin kucluk ini yg ilmunya gak sebanding dengan bapak, tapi modal saya cuma satu pak hati nurani, entah bapak masih punya apa nggak. wassalamun ala manittaba'at tuqo

firdaus mengatakan...

Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, jawaban dari om dosen adalah bahwa kami para mahasiswa ga faham dan ga bisa membedakan yang mana sebenarnya substansi dari kritikan yang dimaksudkan oleh pak dosen. Kenapa saya sudah menduga sebelumnya? Karena dari sedikiit sekali pengalaman yang pernah saya lalui, seorang yang merasa "lebih" dari yang lain ketika dikritik tentang sikapnya yang "kurang pantas" akan selalu begitu, dan semuanya memakai pola yang sama, dengan mengatakan atau lebih pas nya "menuduh" bahwa yang mengkritik tidak faham dengan apa yang dikatakan, istilahnya "lagu lama gitu lho.."
Namun kemudian jawaban ini justru menggiring saya untuk sampai kepada satu kesimpulan atau mungkin pertanyaan, yang ga faham substansi sebenarnya siapa..??
Jawaban yang diberikan hanya berkutat ttg sholat jum'at. Pada catatan saya yang lalu saya telah menyampaikan bahwa kita terbuka untuk dikritik, apalagi oleh seorang dosen yang telah "sangat" berpengalaman. Yang ingin saya sampaikan dari catatan yang lalu adalah sedikit "teguran" (saya berusaha mencari kata yang lebih sopan, karena yang "ditegur" adalah seorang dosen yang kaya pengalaman)…tentang uslub, cara, dan etika ketika menyampaikan kritik. Karena itu memang "pribadi" lah yang jadi substansi teguran di sana, bukan "tentang" apa. Sebab kalau memang di sana terdapat kesalahan, tentu kita akan sangat berterima kasih atas koreksinya, namun seperi yang saya ingatkan sebelumnya, pen-ta'mim-an kesalahan tersebut kepada seluruh mahasiswa kuliah da'wah adalah satu hal yang tidak terpuji, justru hanya kian menonjolkan keangkuhan dan kepongahan si pengkritik….tadinya saya fikir seorang dosen sudah faham akan hal sederhana semacam ini…
Jadi kalau menurut beliau, tulisan kemaren tidak mengerti substansi karena lebih bersifat pribadi, saya katakan, justru itulah yang ingin disampaikan, justru di sana substansi nya…..jadi sekarang terlihat siapa yang sebenarnya kurang mengerti….karena itu dengan berat hati, terpaksa "inna lillahi wa inna lillahi roji'un"nya saya kembalikan…karena tidak terfikir sebelumnya seorang dosen tidak mengerti "substansi" dari hal yang begitu sederhana.
Terakhir, saya akan mengikuti nasehat senior, kang syaff, untuk tidak membuang-buang waktu meladeni pribadi yang secara keilmuan merasa lebih hebat, tapi dari segi mentalitas dan etika…hmmm……..cappeee dehhh..

Nabil Abdurahman mengatakan...

Terima kasih kembali saya ucapkan kepada bapak, walaupun ucapan “terima kasih” bapak itu semu, dan walaupun bapak menganggap yang “subtansi” itu pribadi. Gpp lah emang itu kali yang ada di otak bapak yang sudah tertutup dari masukan-masukan yang sifatnya demi kebaikan bersama, apalagi dari kami-kami mahasiswa yang sedari awalnya bapak sudah mencap “tidak punya latar belakang keilmuan, kajian dan yang yang punya prinsip apabila di tinjau dari pandangan Islam.. bapak sendiri bilang: wah gak bisa katakan”.
Mungkin saya tidak akan terlalu menanggapi jawaban bapak itu dengan terlalu panjang, karena alas an-alasan tadi di atas, cuman beberapa point di bawah ini:
1. Bapak bilang bahwa kami tidak bisa membedakan mana kritikan dan mana tuduhan, jelas-jelas saudara daus memilihkan judul tulisann commentnya dengan “tawadhu dan etika menyampaikan kritik”, itu karena dia tahu bahwa bapak itu sedang mengkritik kami, tapi yang jadi permasalahannya kritikan dan cara bapak itu “inna lillahi wainna ilaihi rajiun” saya gak tahu dah kalau komunitas lain di kritik dengan cara dan model seperti itu sama bapak apa reaksi mereka????????
2. Isi komentar saya juga, kalau emang bapak membacanya, tidak menuduh bapak begitu saja, justru ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di otak bapak sampai-sampai bapak “memponis mati” kami mahasiswa KDI dan alumni-alumninya yang di dikarenakan oleh suatu kasus yang dilakukan oleh sebagian kecil anggotannya –yang bapak menggeneralisasikannya.
3. Terima kasih lagi saya ucapkan karena bapak ternyata sudah bisa menunjukan letak permasalahannya -walaupun masih tetap menggeneralisasi persoalan; karena tetap mengikutkan kata “yang lainnya” di belakang nama seseorang- sehingga kita tahu ternyata itu duduk permasalahan yang membuat bapak berkoar-koar dengan mempublikasikannya ke internet dan dengan menggeneralisasi suatu komunitas dan alumni-alumninya tersebut. Saya tanya sama bapak: Sampai saat ini sudah dapat apa pak dari publikasi bapak itu, dapat penghargaan apa hujan kritikan? Dan apa banyak menambah orang menyukai bapak apa malah membenci bapak? Dari jawaban itu saja kayaknya sudah cukup untuk membuktikan apa tulisan bapak itu membawa manfaat apa madharat, bagus apa tidak, muthobikul hal apa tidak, mencerminkan seorang yang berpendidikan tinggi apa tidak, mempunyai niat baik apa buruk, sesuai dengan kode etik mengkritik apa tidak, ……………
4. Aneh, bener-bener aneh, katanya kami mahasiswa KDI (tanpa memilah-milah)ini gak faham dengan ajaran Islam, tapi sekarang bapak mengatakan bahwa saudara Nofirman dan Afriansyah juga mengetahui hal yang bapak salahkan tersebut, bahkan Afsiansyah tahu dan sadar akan itu. Bukannya Nofriman dan Afriansya juga mahasiswa KDI?
Inilah salah satu letak ketidak beresan etika bapak dalam mengkritik , di samping ketidak beresan-ketidak beresan yang lainnya, yang sudah saya dan teman-teman utarakan.

Jadi sudah tambah jelas sekali bahwa di balik tulisan bapak itu ada keinginan bapak untuk menjatuhkan nama baik sebuah komunitas plus alumni-alumninya, dengan mengambil satu kasus yang di lakukan oleh beberapa anggotanya –walaupun bapak hanya menyebutkan satu orang di sini- itupun bukan di sengaja, sekali lagi kesalahnnya bukan disengaja…

Terakhir saya ingin mengatakan kepada bapak: “pak kalau mau bercermin jangan salah menggunakan muka cerminnya, nanti bapak gak bisa melihat muka bapak, malah belakang cerminnya”

Nabil (salah satu mahasiswa-libya)

nandang muchtar mertawijaya mengatakan...

Setelah sy membaca tulisan blogger atau komentar2 nya, mungkin sy dapat mengemukakan pemikiran2 sy. tanpa bermaksud negatif kepada siapapun:
1. Nampaknya kita harus belajar arif menilai sesuatu. Blogger menilai tentang kita mhs atau alumni, mungkin punya alasan. Klo itu kritik, sesungguhnya tak usah ditanggapi emosional seperti orang kebakaran jenggot, apalagi mengkritik balik secara membabi buta. Biasa saja. Justru itu harus menjadi cambuk agar kita meningkatkan kualitas diri. Tak perlu mengurusi bagaimana etika orang mengkritik kita. Lebih penting mengurusi etika diri kita agar menjadi contoh. Apalagi kegiatan yg telah dilaksanakan adalah Training Leadership. Sy kira ini adalah test case, sejauh mana jiwa kepemimpinan kita diuji. Bila dikritik saja alergi, bagaimana mungkin memimpin suatu komunitas masyarakat yg heterogen yg berbeda pemikirannya dgn kita. Yang saya sedikit tahu, Nabi Muhamad itu tak sekadar dikritik, tapi dihina dina bahkan diperangi. Justru melalui skenario itulah beliau menjadi pemimpin besar. Beliau menjadi pemimpin dan pendakwah tidak disulap oleh Allah, tapi melalui proses manusiawi yang panjang. Dan ini yang terjadi kepada siapapun yang pernah menjadi pemimpin.
2. Pengalaman blogger (yang kebetulan staf KBRI Tripoli) menyampaikan training kpd mhsw KDI, sebaiknya dijadikan bahan untuk KBRI dalam tugasnya membina masyarakat Indonesia, khususnya mhs. Penilaian negatif terhadap mhs atau alumni KDI yang mungkin dianggap kurang patut atau tak berkualitas (juga sering sy dengar bukan hanya dr blogger) sesungguhnya bukan 100 % kesalahan mereka, apalagi kesalahan KDI yg notabene lembaga milik asing. Mestinya KBRI sebagai representasi pemerintah RI di Tripoli ikut pula bertanggung jawab. Stafnya sebagai abdi Negara dan rakyat sepatutnya berfikir tentang bgmn membuat sebuah konsep yang sistemik dan sustainable untuk melakukan pembinaan. Jadi tidak hanya berfikir tntg berapa banyak jumlah uang gaji dan tambahannya dikumpulkan. Jika ini dilakukan, sy kira Negara dan rakyatpun rela mengeluarkan pajak untuk menggaji mereka. Cuma sayang sy blum melihat hal itu dilakukan secara ideal dan konseptual. Sekali lg, boleh jadi ketakpatutan alumni KDI yang berinteraksi dgn blogger saat ini, adalah hasil dari kelalaian KBRI dimasa lalu (jg sekarang) yang abai membina mereka sehingga melahirkan output yg tak patut. Jika blogger mengukur mhs di tanah air yang kaya pengalaman training ini itu, hemat sy alat ukurnya kurang pas. Jgn gunakan timbangan emas untuk menimbang beras. Begitu kira2 dlm melakukan suatu assessment. Jangankan training, sebagian rekan-rekan mhs KDI sy kira sudah lupa urutan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Hal ini wajar, karena yg proaktif mendidik ideologi & ketatanegaraan adalah pemerintah asing. Tindakan serupa tak diimbangi oleh representasi pemerintah kita. Sesungguhnya lucu jika pemerintah --yang memiliki kekuatan terhadap semua sumber, menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak bangsanya kepada bangsa lain apalagi urusan ideologi negara. Ini layak menjadi catatan penting jika negara tidak ingin melihat generasi mudanya melakukan pembangkangan dimasa depan.
3. Tentang Generalisasi
Konsep generalisasi (dlm bahasa om daus: Ta'mim) sebenarnya berasal /dikenal dlm dunia ilmiah, dan merupakan konsep dasar dan metodologi dalam suatu riset. Yang bermakna membentuk gagasan atau simpulan umum dari suatu kejadian, tentu saja setelah melakukan tahapan2 ilmiah lainnya. Generalisasi ini pula yang membidani lahirnya sebuah teori dalam sains atau ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmiah kita tak boleh melakukan generalisasi sembarangan terhadap suatu fenomena tanpa sebelumnya melakukan riset ilmiah. Permasalahannya kembali ke tulisan blogger ttg kesan negatif thdp mhs dan alumni KDI. Kita harus tanya blogger, apakah tulisannya itu hasil riset, apakah benar melakukan generalisasi, jgn2 hanya sekadar postulat (pernyataan yg tak perlu pembuktian kebenarannya) atau hanya hipotesis (praduga yg kebenarannya harus dibuktikan). Jika tulisan itu hanya berita biasa, klo pun ada generalisasi, itu sah-sah saja. Terlepas dari benar atau salah, dalam dunia non ilmiah pernyataan yg sifatnya "generalisasi" sering dilakukan dgn bermacam maksud & tujuan. Dlm media masa atau retorika (khitobah), pernyataan generalisasi yg tidak ilmiah terkadang perlu untuk propaganda, provokasi, atau untuk membangkitkan rasa empati dan semangat. Klo semua harus selalu ilmiah, wah repot. Pernyataan, Negara Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, secara ilmiah tak berdasar. Siapapun yg melakukan riset sejarah tak akan mengambil simpulan itu. Wong nama Indonesia saja muncul setelah Walanda mencaplok nusantara berpuluh2 tahun. Itu hanya pernyataan Soekarno dlm pidato2 propagandanya untuk melawan penjajahan. Dalam petuah2 Islam pun banyak pernyataan generalisasi yg bertujuan lain: Man jalasa fi majalis Su'i utihuma, bgmn dgn tugas intel yg nongkrong di club malam? atau man tasyabaha biqaumin fa huwa minhum, Bgmn dgn orang yng memakai jas dan dasi apakah selalu dikategorikan sbg agen budaya barat? Memang terkadang pernyataan generalisasi itu membuat kita kesal. Suatu waktu saya ditanya supir taksi di Tripoli: "Anda dari Negara mana?". "Indonesia", jawab sy. "Ooo..Andunesiya miah miah !", katanya bersuara lantang memuji saya, mungkin agar dikasih ongkos tambahan kali. Gumam sy dlm hati: "eemh..generalisasi ni ye…miah miah pantat lhu…!!"

Terakhir..
4 .Secara pribadi sebagai mhs KDI, sy tidak tersinggung menyimak tulisan Blogger. Tapi sy bisa memahami reaksi kritis emosional komentar teman2 mhs. Bagi sy, justru ambivalen dgn statusnya jika mhs tidak reaksioner terhadap suatu masalah, sebab ini karakteristik permanen dari seorang mhs. Jika tidak, patut dicurigai bahwa mhs kita sedang tertimpa kelumpuhan intelektual (intellectual impotent). Permasalahannya adalah hal apa yg harus disikapi reaksioner? agar kita tetap bersikap dalam koridor rasional.
5.Dari sudut marketing di dunia maya, ini adalah contoh keberhasilan blogger memasarkan blog nya sehingga di baca oleh banyak orang..he..he

Ngomong2 bgmn klo diskusi kita dialihkan ke Wajhulkitaab alias facebook….lebih asyik tuh…
Mohon maaf jika ada yg tersinggung.
Wassalam
Nandang Nurs.
Tulisan santai disela2 nulis tesis.

nandang muchtar mertawijaya mengatakan...

Setelah sy membaca tulisan blogger atau komentar2 nya, mungkin sy dapat mengemukakan pemikiran2 sy. tanpa bermaksud negatif kepada siapapun:
1. Nampaknya kita harus belajar arif menilai sesuatu. Blogger menilai tentang kita mhs atau alumni, mungkin punya alasan. Klo itu kritik, sesungguhnya tak usah ditanggapi emosional seperti orang kebakaran jenggot, apalagi mengkritik balik secara membabi buta. Biasa saja. Justru itu harus menjadi cambuk agar kita meningkatkan kualitas diri. Tak perlu mengurusi bagaimana etika orang mengkritik kita. Lebih penting mengurusi etika diri kita agar menjadi contoh. Apalagi kegiatan yg telah dilaksanakan adalah Training Leadership. Sy kira ini adalah test case, sejauh mana jiwa kepemimpinan kita diuji. Bila dikritik saja alergi, bagaimana mungkin memimpin suatu komunitas masyarakat yg heterogen yg berbeda pemikirannya dgn kita. Yang saya sedikit tahu, Nabi Muhamad itu tak sekadar dikritik, tapi dihina dina bahkan diperangi. Justru melalui skenario itulah beliau menjadi pemimpin besar. Beliau menjadi pemimpin dan pendakwah tidak disulap oleh Allah, tapi melalui proses manusiawi yang panjang. Dan ini yang terjadi kepada siapapun yang pernah menjadi pemimpin.
2. Pengalaman blogger (yang kebetulan staf KBRI Tripoli) menyampaikan training kpd mhsw KDI, sebaiknya dijadikan bahan untuk KBRI dalam tugasnya membina masyarakat Indonesia, khususnya mhs. Penilaian negatif terhadap mhs atau alumni KDI yang mungkin dianggap kurang patut atau tak berkualitas (juga sering sy dengar bukan hanya dr blogger) sesungguhnya bukan 100 % kesalahan mereka, apalagi kesalahan KDI yg notabene lembaga milik asing. Mestinya KBRI sebagai representasi pemerintah RI di Tripoli ikut pula bertanggung jawab. Stafnya sebagai abdi Negara dan rakyat sepatutnya berfikir tentang bgmn membuat sebuah konsep yang sistemik dan sustainable untuk melakukan pembinaan. Jadi tidak hanya berfikir tntg berapa banyak jumlah uang gaji dan tambahannya dikumpulkan. Jika ini dilakukan, sy kira Negara dan rakyatpun rela mengeluarkan pajak untuk menggaji mereka. Cuma sayang sy blum melihat hal itu dilakukan secara ideal dan konseptual. Sekali lg, boleh jadi ketakpatutan alumni KDI yang berinteraksi dgn blogger saat ini, adalah hasil dari kelalaian KBRI dimasa lalu (jg sekarang) yang abai membina mereka sehingga melahirkan output yg tak patut. Jika blogger mengukur mhs di tanah air yang kaya pengalaman training ini itu, hemat sy alat ukurnya kurang pas. Jgn gunakan timbangan emas untuk menimbang beras. Begitu kira2 dlm melakukan suatu assessment. Jangankan training, sebagian rekan-rekan mhs KDI sy kira sudah lupa urutan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Hal ini wajar, karena yg proaktif mendidik ideologi & ketatanegaraan adalah pemerintah asing. Tindakan serupa tak diimbangi oleh representasi pemerintah kita. Sesungguhnya lucu jika pemerintah --yang memiliki kekuatan terhadap semua sumber, menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak bangsanya kepada bangsa lain apalagi urusan ideologi negara. Ini layak menjadi catatan penting jika negara tidak ingin melihat generasi mudanya melakukan pembangkangan dimasa depan.
3. Tentang Generalisasi
Konsep generalisasi (dlm bahasa om daus: Ta'mim) sebenarnya berasal /dikenal dlm dunia ilmiah, dan merupakan konsep dasar dan metodologi dalam suatu riset. Yang bermakna membentuk gagasan atau simpulan umum dari suatu kejadian, tentu saja setelah melakukan tahapan2 ilmiah lainnya. Generalisasi ini pula yang membidani lahirnya sebuah teori dalam sains atau ilmu pengetahuan. Dalam dunia ilmiah kita tak boleh melakukan generalisasi sembarangan terhadap suatu fenomena tanpa sebelumnya melakukan riset ilmiah. Permasalahannya kembali ke tulisan blogger ttg kesan negatif thdp mhs dan alumni KDI. Kita harus tanya blogger, apakah tulisannya itu hasil riset, apakah benar melakukan generalisasi, jgn2 hanya sekadar postulat (pernyataan yg tak perlu pembuktian kebenarannya) atau hanya hipotesis (praduga yg kebenarannya harus dibuktikan). Jika tulisan itu hanya berita biasa, klo pun ada generalisasi, itu sah-sah saja. Terlepas dari benar atau salah, dalam dunia non ilmiah pernyataan yg sifatnya "generalisasi" sering dilakukan dgn bermacam maksud & tujuan. Dlm media masa atau retorika (khitobah), pernyataan generalisasi yg tidak ilmiah terkadang perlu untuk propaganda, provokasi, atau untuk membangkitkan rasa empati dan semangat. Klo semua harus selalu ilmiah, wah repot. Pernyataan, Negara Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, secara ilmiah tak berdasar. Siapapun yg melakukan riset sejarah tak akan mengambil simpulan itu. Wong nama Indonesia saja muncul setelah Walanda mencaplok nusantara berpuluh2 tahun. Itu hanya pernyataan Soekarno dlm pidato2 propagandanya untuk melawan penjajahan. Dalam petuah2 Islam pun banyak pernyataan generalisasi yg bertujuan lain: Man jalasa fi majalis Su'i utihuma, bgmn dgn tugas intel yg nongkrong di club malam? atau man tasyabaha biqaumin fa huwa minhum, Bgmn dgn orang yng memakai jas dan dasi apakah selalu dikategorikan sbg agen budaya barat? Memang terkadang pernyataan generalisasi itu membuat kita kesal. Suatu waktu saya ditanya supir taksi di Tripoli: "Anda dari Negara mana?". "Indonesia", jawab sy. "Ooo..Andunesiya miah miah !", katanya bersuara lantang memuji saya, mungkin agar dikasih ongkos tambahan kali. Gumam sy dlm hati: "eemh..generalisasi ni ye…miah miah pantat lhu…!!"

Terakhir..
4 .Secara pribadi sebagai mhs KDI, sy tidak tersinggung menyimak tulisan Blogger. Tapi sy bisa memahami reaksi kritis emosional komentar teman2 mhs. Bagi sy, justru ambivalen dgn statusnya jika mhs tidak reaksioner terhadap suatu masalah, sebab ini karakteristik permanen dari seorang mhs. Jika tidak, patut dicurigai bahwa mhs kita sedang tertimpa kelumpuhan intelektual (intellectual impotent). Permasalahannya adalah hal apa yg harus disikapi reaksioner? agar kita tetap bersikap dalam koridor rasional.
5.Dari sudut marketing di dunia maya, ini adalah contoh keberhasilan blogger memasarkan blog nya sehingga di baca oleh banyak orang..he..he

Ngomong2 bgmn klo diskusi kita dialihkan ke Wajhulkitaab alias facebook….lebih asyik tuh…
Mohon maaf jika ada yg tersinggung.
Wassalam
Nandang Nurs.
Tulisan santai disela2 nulis tesis.

oasis musafir mengatakan...

Assalamualaikum, Akh Nabil,

Terima kasih karena kamu ’gentle’ menulis nama sehingga saya bisa menjawabnya lebih komunikatif, tidak seperti sebelumnya yang jawab secara umum karena saya bicara ’sama’ orang yang......(maaf gak diteruskan). Karena menyebutkan identitas juga menyangkut dan bagian dari masalah moral.

Bil..terima kasih atas caci dan makiannya. Ente sudah cross check kepada Sie. Dakwah belum, Sdr. Arfiyansyah dan Sdr. Abdan. Karena ente gak hadir dalam shalat-shalat jumat yang terjadi kesalahan. Yang saya tahu kesalahan pd tgl 16 Januari 2009 itu ada Nofriman disebelah saya. Silahkan cross check deh pada mereka sehingga ente mendapatkan bukti dan fakta, bukan katanya. Ente kan ’al-bahits’, bukan ’thalib’. (Kalau saya kan cuma fakirilmu sesuai dengan nama blog saya yang lain. Dan blog itu dibuat sudah jaman jadul, sebelum saya tahu bakal ke Libya. Memang kenyataannya begitu. Sueeeer..Bil). Kalau sudah dan tahu duduk persoalannya terima kasih sekali lagi atas cacian diatas.

Persoalan blog yang saya tulis adalah menyangkut soal khutbah Jum’at dari sisi manajemen pengelolaan, karena kurang lebih 8 x-an khatib salah terus membaca ayat Al-qur’an dan saya koreksi pelan hingga puncaknya terjadi tgl. 16 Januari 2009 itu, walau tidak berturut-turut (urutan tiap jumat). Saya selalu ingatkan Sie Dakwah untuk serius memilah dan menangani masalah ibadah itu, karena menanggung ibadah jamaah (banyak orang...) jumat dan dosa. Dalam hal ini sikap saya jelas, yang saya ingatkan Sie dakwah. Saya tidak pernah menegur langsung khatibnya (silahkan cek....), karena bukan kesalahan mereka. Kesalahan sistem. Terakhir saya panggil Arfi dan Abdan coba rumuskan persoalan khatib dengan metode yang saya berikan dalam training yang judulnya sangat keren ‘Creative Problem Solving’.(tapi trainernya yang fakir ilmu) Jadi cukup berkali-kali saya ingatkan tapi gak ada perubahan. Makanya saya minta ente tanya mereka kronologisnya. Coba pikirin??? (Kira-kira yang saya gambarkan diatas ngomong ma siapa saya??? Kalau saya kesel dan kira-kira saya ngomong ma siapa..deh..) Kalau saya analogikan ente dibangunin solat subuh sama babe ente gak bangun-bangun, sekali, dua kali…dst sampai 8 kali, kira-kira akhirnya diapain. Disiram pake air seember…..bangun gak kira-kiraa ente??? Gak bangun??? Atau kaget terburu-buru ke kamar mandi wadhu. Jelas kan...karena soal ibadah. Kalau soal lain saya gak pedulikan (saya bilang begitu sama Arfiansyah), terserah saja...seperti misalnya acara KKMI yang mengambil tema ”Meneropong Indonesia dari LN”, apakah saya komentar negatif, walau saya denger dari mahasiswa yang lain yang merasa tidak puas. Saya memaklumi itu semua karena tidak menyangkut ibadah ’jamaah dan orang banyak’ dan juga sedang berproses (sekaligus penjelasan untuk Risal). Saya biarkan..apakah ente denger dari mahasiswa ada komentar negatif saya....gitu?? . Begitu juga perseorangan, saya gak mau ambil turut campur. Tapi sekali lagi saya katakan mengenai ibadah jamaah dan menyangkut orang lain (maaf jamaah kita masyarakat RI di Tripoli, selain mahasiswa, kan bukan bidang mereka soal agama. Janganlah mereka dijerumuskan dan dikadalin), kecuali ente mau menanggung dosanya. Tapi itu mustahil????

Nah…sekali lagi hal itu soal manajemen pengelolaannya yang saya beresin. Dalam masalah majemen pengelolaan diatas, saya ambil berdasarkan pengalaman saya mengelola Badan Pembina Kerohanian (BPK) di Universitas Paramadina, (sebuah institusi yang juga dicaci maki oleh antum-antum seperti diatas) yang juga mengelola khatib jumat yang saya turunkan kepada mahaiswa, saya gunakan metode dakwah dalam Islam - (saya taken for granted saja dan menganggap mahasiswa KDI sudah tahu, karena bidangnya dan juga konsep dasar dari nama ’KDI’ [pikirkan dan renungi]. Kalau jurusan seni musik, sdh gak perlu saya jelaskan lagi not doreminya, walau nyatanya.....) – yaitu metode ‘al-Targhib wa al-Tarhib’. (Sheikh Abdul Azim Al-Munziri dengan sangat cerdas menjadikan judul bukunya). Kedua pendekatan tersebut nanti akan ente alami bila terjun ke masyarakat mengabdi pada jalur dakwah. Saya pakai dalil – (maaf saya kan cuma seorang fakir ilmu. Jadi saya tidak pernah menggembarkan gemborkan bahwa saya dosen, dsb, seperti yang antum tulis itu. Itu kan antum sendiri yang nisbatkan pada saya. Kalau saya tulis di data saya, itu adalah fakta. Bukan pamer. Karena ada juga yang nyinyir ditulis oleh mahasiswa KDI, tapi saya gak tanggapi karena menyangkut soal pribadi saya. Biarlah..semuanya itu saya kembalikan pada Tuhan. Saya komentari dan melakukan penjelasan seperti yang kita hadapi ini karena menyangkut soal agama, Bil… Mohon berfikir positif). Dalilnya adalah, ‘al-abdu yudhrabu bi al-asha wa al-hur yakfii bi al-Isyarah’. Artinya faham ente dech…Karena kalau saya terjemahkan dan saya nisbatkan...lain lagi responnya. (Coba kaji dalam Al-Qur’an kenapa nama kita suci Bani Israel Taurat). [Lebih dalam lagi yang saya gunakan itu adalah ‘pendekatan surat Al-Ma’un. Coba renungkan]. Makanya saya pakai pendekatan al-Tarhib, yang resikonya seperti apa yang ada. Hal itu biasa. Ente kan tahu gak mudah untuk menggapai surga, penuh duri, ranjau, batu, terjal, tebing, tikungan, belokan, dsb. Tapi itu hanya bagi pejuang..Bil...yang mau ambil resiko mendapatkannya. Orang yang ’abul buthuun’...jangan harap akan melakukannya...yang penting ’perut’ yang juga akhirnya jadi ’tai’ (maaf...). Itu hadis Nabi Bil....(maaf tahuan ente tentang itu...)

Saya analogikan khutbah jumat itu seperti jalan raya, ada aturan dan rambu-rambu yang harus ditaati. (Kalau mau semau gue…seenak udel..sana di gurun pasir sahara. Silahkan mau ngapain kek...gak ada yang larang, jungkir balik kek...silahkan aja) [tolong perdalam konsep ’taktis’ dan ’strategis’ dalam perjuangan]. Itu logika yang saya bangun. Jadi kalau mau latihan, jangan pada waktu khutbah, tapi jadikan program kerja Sie Dakwah. (Saya gak akan intervensi, mau salah, mau jungkir balik....ssilahkan saja..Namanya juga lagi latihan dan belajar. Semua hal di dunia ini melalui proses. Gak ada yang langsung jadi dan bisa (kun fa yakun). Mustahil itu, kecuali pada Nabi yang didukung wahyu. [Sekaligus ini mengomentari Sdr. Miftah Risal]. Sueeerr..saya katakan itu sama Arfi). Karena yang jadi khatib adalah mahasiswa yang belum pengalaman. Saya bilang kenapa gak minta mahasiswa S2 dan senior, jawab Abdan gak ada yang mau. (secara moral - kalau itu benar – mahasiswa S2 dan senior turut bersalah secara moral, secara fikih sih gak. Sama dengan bersalahnya kita secara moral bila ada orang mati kelaparan di pinggir jalan, sementara kita kekenyangan. Tapi secara fikih sih gak salah. Karena fikih gak sampe kesitu mengkajinya. Makanya ente gak bakal dapatkan itu di kitab fikih yang tebal. Coba ente renungi pendekatan yang saya contohkan itu...renungi dengan lentera nurani).

Saya bilang ada dua metode yang bisa digunakan. Pertama, membuat penilaian khatib. Artinya setiap jumat ada yang menilai yang ditunjuk, siapa saja.Yang penting ada masukan dari penilai. Yang berkualitas diteruskan, yang nilainya ’B’ diteruskan dengan catatan diperbaiki, dan yang gak lulus yah,,latihan dan belajar dulu. Untuk itu dibuat jadual per 2 bulanan biar gampang kontrolnya. Yang kedua, mahasiwa tingkat 3, 4 dan S2.(mahasiswa baru juga akhirnya akan dapetin khutbah bila sudah pada tingkat senior,...regenerasi..lah). Saya sudah hitung kalau disusun secara bergilir dan tertib, setiap orang hanya sekali dalam 4 -5 bulanan mendapat giliran. Saya kira gak apa-apa...berbuat baik dalam renggang waktu segitu – karena saya tahu khatib di KBRI belum dihargai dengan honor, walau saya sudah berkali-kali mengingatkan kepada Nasbin, yang memang bidangnya untuk memikirkan uang penggantian taksi khatib. Bidang saya kan politik yang sebenarnya gak ada hubungan secara administratif ngurusin itu. Cuma memang ingin pahala mengadakan perbaikan semampu seorang fakir ilmu..Bil...gak lebih.

Jadi sikap saya jelas, karena itu adalah ibadah dan secara administrasi belum rapi dan momennya pas saya diminta untuk memberikan materi mengenai problem solving, maka saya bilang sama Sie Dakwah (Arfi dan Abdan) coba terapkan menurut metode. Bahkan saya tuliskan mengenai rukun dan syarat khutbah, bahkan dari pembukaan hingga penutupan, baik khutbah pertama maupun kedua sebagai panduan umum. Dan nanti kembalikan kepada saya untuk saya lihat dan koreksi kalau ada yang perlu koreksi.. tapi ssampai sekarang juga belum, mungkin karena sibuk mau ujian. Kira-kira sejauh itu yang saya lakukan..Bil...

Nah berkat setrum dan sentilan saya itu, alhamdulillah hasilnya sudah lebih bagus.(Silahkan cek sama sie dakwah). Khatibnya bagus dan berbobot. Saya katakan seperti itu kepada Abdan, cuma kelamaan saja. Karena waktu itu hampir 45 menit lamanya belum termasuk shalat. (Menurut penelitian Psikologi kemampuan mendengar efektif seseorang itu cuma 8 menit pertama.[inget istilah...kultum..]. Maksimum 15 menit. Kesononya ngawur dan ngelantur. Kasihan gak ada hasilnya bagi jamaah dan juga bagi khatibnya capek...jadi dua-duanya kurang ’ideal’. Coba ente lihat di mimbar ada tulisan ’max khutbah 15 menit saja’. Tulisan itu bukan tanpa makna). Soal kelamaan itu sih gampang...tinggal kasih tahu aja, jangan lama-lama....jamaah kita heterogen, gak doyan agama. Beda dengan di kampus yang semuanya lalapannya sehari-hari agama. Yah...level jamaahnya kan gak beda dengan saya yang fakir ilmu...Bil. Jadi jangan dikadalin mereka. Jadi yang saya tulis di blog itu adalah bagian dari metode yang saya pilih dan dengan resiko yang mengiringinya. Caci makian yang antum lontarkan alhamdulillah Insya Allah juga menjadi kebaikan saya dan menghapus dosa kecil saya (itu kan ajaran agama kita juga begitu). Nanti ente rasakan ketika terjun ke masyarakat, Insya Allah ente akan merasakan seperti yang saya rasakan, dicaci, dimaki, dihina, diinjak, dsb. Itu adalah resiko profesi penunjuk kebenaran, Bil... Kecuali ente mau jadi ’safety player’ yah gak merasakan itu. Dan secara hukum alam apa yang dilakukan oleh kawan-kawan diatas – cuma sayang gak menulis identitas nama sesungguhnya, saya gak mau meraba-raba siapa dia, takut salah – Insya Allah juga akan merasakan apa yang mereka perlakukan terhadap saya. Hukum kausalitas itu sunnatullah dan pasti akan berlaku dan itu berdasarkan hadis nabi. Dalilnya ente lebih tahu dari saya yang cuma sang fakir ilmu. (Nabi saja yang dengan dukungan wahyu diperlakukan lebih sakit dari itu, bahkan oleh keluarga dekat dan sahabatnya. Abu Jahal, Abu Lahab, Ubai bin Salul, dsb....Bil, sudah mati jadi tanah dimakan cacing, tapi personifikasi mereka menyebar hingga hari kiamat dan golongan mana yang terbanyak ’gangnya’. Coba ente kaji secara mendalam, mukaddimah surat Al-Baqarah, ayat 1-20. Kenapa. Kaji dengan menggunakan mata hati dan nurani. Kalau saya cuma fakir ilmu doang....tapi alhamdulillah dapat mengambil ibrah dari itu, dimana 20 ayat tersebut merupakan ’isi’ seluruh ayat Al-Qur’an, karena 30 juz isi kitab suci Al-Qur’an cuma berisi tipe manusia tersebut dengan berbagai dalil dan hujah).

Saya kira cukup jelas duduk soalnya. Kedua, mungkin saya sebagai orang yang ’tua dan fakir lagi ilmunya’ mengingatkan kepada antum – saya yakin antum lebih tahu dari saya akan hal tersebut – bahwa sejak antum menginjakkan kaki di KDI antum itu dibeayai oleh DANA WAKAF UMAT. Sekali lagi Bil.... itu DANA UMAT dan TUHAN. Ada pertanggungjawaban moral di depan pemiliknya, UMAT dan TUHAN. Darah dan nafas yang mengalir dalam tubuh ente itu...DUIT UMAT DAN TUHAN..Bil. Saya cuma mengingatkan, sekali lagi mohon maaf bukan menggurui, karena pinteran kalian – cepat selesaikan kuliah dan thesis kalian - dan pulang ke kampung. UMAT dan TUHAN menanti ente yang hebat-hebat alumni KDI Libya. Pesan ini semoga juga terbaca oleh mahasiswa S2 yang bekerja baik di KBRI maupun di PT, cepet selesaikan thesis, UMAT menanti kalian. Sekali lagi pertanggungjawaban moral antum ditunggu UMAT dan TUHAN. Jangan sampai sinyelemen yang saya denger, mana mau mahasiswa S2 cepet-cepet menyelesaikan thesisnya, habis..enak...jadi piket yang cuma numpang tidur dan makan doang digaji dolar (ini pengakuan piket Bil.. kepada tamu. Jadi fakta. Bukan fitnah; disamping itu juga punya kesempatan menjadi temus. (Silahkan kaji makna Rahmat). Jangan sampai sinyalemen itu menjadi kenyataan. Itu dosa dan bertentangan dengan pertanggungjawaban moral. Tapi kalau di fikih klasik..yah...ente gak dapaetkan kajiannya...

Lain soal kalau biaya kuliah ente ditanggung sendiri oleh orang tua ente, gak punya beban moral dari hal itu. Coba, iseng-iseng ente hitung berapa duit beaya ente selama kuliah di KDI dibiayai oleh WAKAT UMAT dan DUIT TUHAN itu. Bersedia gak mengembalikan lagi. Kalau di sekolah Kristen itu begitu. Mereka mengembalikan 20 % dari penghasilan mereka sepanjang hidup, sebagai pertanggungjawaban di depan umat. Ini fakta ..Bil yang saya dapatkan di Hongkong. (Sekali lagi moral...Bil. Kalau saya bilang mereka lebih bermoral...salah lagi saya, dan juga bisa antum maki-maki lagi). Mau gak alumni KDI seperti mereka. (Moral kalian yang bicara dan sejarah yang mencatatnya). Maaf...Bil...yang ini sih ente campakkan saja dan buang saja ke got dan comberan...cuma masukaan dari seorang yang fakir ilmunya.... (Saya harap yang ikut training, ...jadikan hal diatas sebagai inisiasi. Saya yakin istri dan suami kalian akan menerima bila reasoning dan nalarnya jelas. Besarnya sih...terserah antum. Yang penting komitment (niat). Dalilnya kan antum tahu.....).

Soal makian yang dilontarkan diatas...saya analogikan seperti ente memasak sop kambing ..Bil. Pasti ketika mateng diangkat dan yang mateng pasti daging kambing. Bukan oncom kan????? Kalau ternyata oncom...wah saya bingung.. tapi itu kenyataan kan..Bil??? (Dalilnya ente lebih tahu)....

Semoga penjelasan yang saya lakukan menjadi clear dan jelas. Adalah soal shalat jum’at, yang dijadikan ’kelinci percobaan dan ajang latihan’, karena menyangkut ibadah jamaah saya menentang pola tersebut. Dan hasilnya, antum lakukan terhadap saya apaan.....tapi saya yakin dengan Tuhan, Allah swt...insya Allah gak sia-sia apa yang saya lakukan didepan-Nya.

Saya harap ente bisa memandang hal tersebut Bil...diatas puncak ’gunung’ kearifan. Indah....alam semesta dengan keluasan cakawala. Itulah orang yang memandang dengan hati, otak dan positve thinking. Tapi sebaliknya, orang yang melihat ’dasar gunung’, bukit itu jelek, bopeng, kotor, kumuh dan pengap. Itulah orang yang memandang sesuatu dengan ’negative thinking, emosi dan nafsu. [Coba kaji konsep itu dalam al-Qur’an...Bil. Ente dan yang lain kan ’Maha’ siswa).

Wah..sorry yah Bil...penjelasan saya banyak ngelantur dan panjang...tapi semoga menjadi jelas duduk persoalannya. Dan penjelasan ini juga sekaligus menjelaskan duduk persoalan kepada yang lain karena saya dikirimkan melalui milis yang juga tidak menyebutkan identitas lengkapnya.

Saya sadar, bahwa konflik ’antara kebenaran dan kebatilan’ tetap akan eksis sepanjang dunia ini belum kiamat. Konflik tersebut tetap terjadi selama manusia masih ada. Dan kasus ini sebuah contoh. Silahkan ambil ’filosofis (hikmah) dibaliknya.

Saya harap semoga kamu menjadi orang yang seperti namanya, al-ism yadullu ’ala al-musammaa’. Nabil = the Noble, walau hanya dengan mencantumkan nama kamu dalam cacian diatas. Itu saya hargai karena kamu ’gentle’, ketimbang yang.... (sorry..saya gak teruskan)...

Saya mohon maaf atas semua kejadian, karena semua itu akibat ’ketololan dan kefakiran ilmu’ saya (Saya katakan dalam training... ada yang inget gak??... peserta cewek saya lihat ada yang ’merasa’ itu), yang alhamdulillah masih terus belajar pada Universitas Alam Semesta, Fakultas kehidupan. (perhatikan asal kata ’Universitas’ dan ’Fakultas’ dalam bahasa inggris). Sekali lagi mohon maaf......

Salam,
Sang Faqir Ilmu,
Nasruddin Latief

www.oasesahara.blogspot.com
www.fakirilmu.blogspot.com


Catatan:
Saya mohon maaf kalau penjelasan ini saya kirimkan kepada milis dll, karena mereka juga mengirimkannya kepada saya, sehingga menjadi jelas duduk persoalannya. Sedangkan makian yang menyangkut pribadi saya, saya terima dan saya tidak memberikan komentar apa-apa. Saya serahkan kepada Allah saja....wama taufiqi illa billah...

Untuk Rahmat Ferianto...begitulah kira-kira kedudukan dan peristiwanya. Terima atas kearifan kamu....

Untuk Nandang....terima kasih juga... ternyata..nimbrung... hee..hee

Nabil Abdurahman mengatakan...

Waalaikumsalam.

Terima kasih saya ucapkan kepada bapak yang sudah menganggap bahwa 2 tanggapan saya tersebut mengandung caci-maki kepada bapak, terserah bapak mau melihatnya dari sudut mana, yang jelas:
1. sebuah reaksi tidak akan muncul kecuali setelah ada aksi dan al-hadidu bil-hadidi yuflah.
2. saya lihat jawaban-jawaban bapak selalu berkutat masalah jum'atan, padahan yang kita persoalkan dan sesalkan terhadap sikap bapak -masa harus di ulang-ulang lagi, tapi gpp- adalah: - penggeneralisiran bapak terhadap kami satu komunitas bahkan alumni-alumninya, dikarenakan satu kasus khutbah jum'at tersebut yang bapak menyimpulkannya, sebagai cerminan ketidak fahaman kami dengan ajaran agama islam.- cara, uslub, dan media yang bapak pakai dalam mengkritik. Sebagai bahan renubngan, sewaktu bapak bilang sama saya di KBRI bahwa anak-anak mahasiswa KDI kurang punya wawasan, tsaqofah, bapak tahu sendiri, waktu itu apa saya berkomentar apa tidak?
3. Kalau tadi bapak mencontohkan pengkoreksian bapak terhadap kesalahan-kesalahan yang di lakukan oleh 8 orang mahasiswa KDI dalam ibadah jum'at dengan cara ortu saya membangunkan saya ketika tidak mau bangun subuh dengan guyuran air, maka saya akan mencontohkan kesalahan bapak dalam cara, uslub, media dan penggenerasisaian bapak dalam tulisan bapak tsb, seperti bapak mau membangunkan saya supaya mau shalat subuh dengan menguyur muka saya, tapi air yang bapak pake bukan air biasa; melainkan air raksa, dan yang bapak guyur bukan saya saja yang tidak bangun tapi teman-teman saya yang jelas-jelas sudah bangun pun bapak guyur juga mukanya dengan air raksa tersebut. Coba bapak renungkan apa kira-kira reaksi saya dan teman-teman atas aksi bapa tersebut? dan apa yang terjadi pada muka saya dan teman-teman saya?
4. terima kasih karena bapak sudah mengingatkan kami akan tanggung jawab kami terhadap muasasah yang telah membiayai kami dalam belajar dengan cara belajar yang baik dan membina masyarakat kelak. Dan sebagai bentuk tanasuh saya juga ingin mengingatkan bapak, bahwa bapak itu di gajih dari uang hasil keringat rakyat yang harus bapak pertanggungjawabkan juga di depan mereka dan Tuhan.

Sebenarnya kita sudah tahu duduk permasalahnnya dari awal, sehingga teman-teman yang berkomentar sebelumnya tidak mau melayani bapak lagi, karena memang sudah menduga-duga tanggapan-tanggapan bapak akan bercabang ke sana-kemari yang akhirnya keluar dari duduk permasalahan yang sebenarnya. Mungkin ini kali terakhir juga saya menanggapinya; karena saya kira kurang ada gunanya di lanjutkan juga.

Wassalam

Nabil (salah satu mahasiswa Libya)

Anonim mengatakan...

hmm...

M. Sahrul Murajjab
(alumni KDI 2004)