Senin, 21 Juli 2008

ANTARA HONGKONG-TRIPOLI

Seperti judul lagu saja, judul urak-arik yang saya berikan. Tadi ketika makan siang di KBRI saya mendapatkan komentar salah seorang Home Staff tentang Novel Ayat-Ayat Cinta, karya Habiburrahman El-Shirazy. Karena beliau baru membaca sehingga saya tidak mau menceritakan isinya agar tidak penasaran. Saya hanya katakan bahwa penulisnya kebetulan bersama saya di Hongkong selama seminggu bahkan pulang satu pesawat menggunakan Cathay pasific dari Hongkong-Jakarta pada bulan Februari 2007. Dari obrolan dengan Kang Abik (biasa dia disapa begitu, walau asli Jawa Tengah, bukan orang Sunda; kebalikan dari Utomo Dananjaya, orang Kuningan Sunda yang dipanggil Mas Tom). Beliau sangat ekpresif dengan cerita yang ada di dalam novel itu, seorang mahasiswa yang prihatin dengan kehidupan mahasiswa di Mesir, karena ketika berangkat dengan menggadai sawah milik ayahnya satu-satunya yang merupakan warisan kakeknya, berjualan tempe (di novel Ketika CInta Bertasbih), menerjemahkan buku, dan lain-lain. Beliau mengatakan andaikan kalau tidak karena jual sawah, Fahry tidak mau bersusah-susah pergi mengikuti talaqqi ke Syeikh di tengah terik panas matahari. Maksudnya adalah membandingkan dengan situasi mahasiswa Indonesia di Tripoli (Kuliyyat Dakwah Islamiyah) yang cengeng, manja, tidak kreatif, dan lain sebagainya.

Saya katakan bahwa mereka tidak lebih baik dari para Nakerwan (atau TKW, istilah kasarnya) yang berhasil menjadi penulis, pemimpin organisasi, bahkan sutradara yang pada tahun 2008 menjadi juara Eagle Award Metro TV, untuk film dokumenter berdasarkan kisah nyata kehidupan Nakerwan Hongkong yang menabung dan melanjutkan kuliahnya dan berhasil. Saya cerita sedikit tentang kegiatan sebagian para Nakerwan yang ikut aktif dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong. Walau saya hanya membaca hasil kumpulan karya cerpen mereka yang diterbitkan menjadi novel, judulnya, Hongkong, namaku peri cinta. Saya selalu banggakan di depan mahasiswamahasiswi saya di Paramdina maupun di Universitas Al-Azhar Indonesia, bahwa kalian yang bergelimang duit tidak bisa berbuat seperti mereka. Budayawa Taufik Ismail terheran-heran mengetahui energi yang sangat kuat pada diri mereka menjadi penulis. Hal ini juga dikemukakan oleh Asma Nadia ketika melatih penulisan ke Hongkong... Padahal mereka semuanya bekerja menjadi buruh migran yang mempunyai waktu sangat sedikit sekali. Pekerjaan mereka rata-rata jam 12an tengah malam baru selesai. Setelah itu mereka baru punya kesempatan menulis. Astaghfirullah... mereka bisa menghasilkan karya yang sangat baik di atas rata-rata. Hal itulah yang membuat Taufik Ismail tertegun melihat kenyataan demikian... memang tradisi orang Hongkong makan malam an tidur larut malam dan bangun jam 9 atau 10an pagi. Itulah kehidupan. Itulah long life education, dan dari situlah saya mengamati dan belajar.




to be continued...

FAKULTAS KEHIDUPAN, UIVERSITAS ALAM SEMESTA

Fakultas Kehidupan, Universitas Alam Semsta.

Itu kurang lebih yang sering saya ungkapkan pada berbagai kesempatan kepada para Nakerwan di Hongkong selama saya memberikan motivasi kepada mereka. Saya kira tidak terlalu salah kalau saya mengungkapkan ungkapan demikian. arena Islam sesungguhnya mengajarkan kita untuk belajar sepanjang kehidupan. 'Tuntutlah ilmu dari orok hingga masuk lobang kubur (liang lahat)', begitu sabda Baginda Nabi Muhammad saw. Bahwa belajar adalah long life education. Bangku sekolah hanya sebagian dari proses belaajr sepanjang hayat tadi. Paradigma kita selama ini keliru dan menganggap bahwa belaajr hanya melalui proses jenjang pendidikan dari dasar, menengah dan perguruan tinggi. Setelh tamat perguruan tinggi merasa sudah jadi sarjana apalah gelarnya, Drs., Lc., MA., Dr., SH., dan lain-lain merasa sudah selesai belaajr. Tapi.. sayangnya paradigma semacam ini diidap oleh kita yang beragama Islam dan sekolah di Sekolah Islam, di Timur Tengah lagi, apalagi di Kuliyyah Dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.

Para Nakerwan secara pendidikan formal tidak berpendidikan tinggi. Paling tinggi mereka tamat setingkat SMU, pesantren atau SMP. Tapi berkat pengarahan dari para narasumber yang rata-rata orag yang sukses dalam menempuh kehidupan, mereka termotivasi dan terus belaajr. Seperti apa yang selalu ungkapkan diatas kepada mereka.

Begitupun saya ketika berada di Tripoli, Libya. Ibu kta Libya termasuk kota kecil untuk ukuran kota di Indonesia, apalagi dilihat dari sisi jumlah penduduknya yang hanya 1 juta orang saja. Penduduk Libya total hanya 5,5 juta. Masih lebih banyak penduduk kota Jakarta pada malam hari yang 9 juta, siang 12 juta. Kota kecil tersebut, masyarakat Indonesia juga sedikit bila dibandingkan di Cairo, Jeddah atau Hogkong yang berjumlah 150.000 orang. Masyarakat Indonesia di Tripoli hanya ada ratusan saja, dan itupun mayoritasnya mahasiswa yangs edang belaajr di Kuliyyah Dakwah Islamiyah Tripoli. Tapi.. lagi-lagi aneh, tidak mencerminkan masyarakat Muslim yangs esuai dengan ajaran Islam maupun refleksi dari nama kampus tempat belaajr. Makanya saya sering katakan bahwa sistem yang ada di Hongkong adalah ajaran Islam, sedangkan yang dikembangkan oleh masyarakat kita disana adalah sistem Arab. Berbeda sekali antara Islam dengan Arab.

Jadi sekarang saya di Tripoli lebih serius belaajr pada Fakultas Kehidupan, Universitas Alam Semesta. Saya belaajr tingkah laku orang perorang, dari mahasiswa, mahasiswa senior, mahasiswa yang sudah menjadi pegawai, pegawai, masyarakat dan lain sebagainya. Banyak sekali pengalaman yang saya pelajari sebagai bahan pelajaran alam kehidupan. Saya selama ini memang selalu belajar pada orang yang berhasil maupun yang gagal. Selama saya tinggal di Jeddah, hampir 8 tahun lamanya, saya banyak belaajr pada seorang Indonesia yang saya anggap berhasil adalah Pak Fadhol Arofah Maryadi. Dari beliau saya banyak belaajr tentang kehidupan. Bahkan sampai sekarang saya masih menerapkan beliau. begitu juga ketika saya kembali ke Jakarta saya banyak belaajr dari Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dari kedua orang tadi, saya belaajr kedisplinan, tawadhu, dan etika dan moralitas. Pak Fadhol adalah orang yang sangat serius dalam masalah apa saja, kecuali pada saat santai. Menegnedari mobil di Jeddah, saya sering perhatikan bila bertemu di tengah jalan, tanpa sepengetahuan beliau tentunya, beliau terlihat sangat serius sekali. Begitu kedisiplinan waktu bekerja. Beliau bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Beliau tidak mau membaca koran pada waktu jam kerja dan mengobrol sana-sini. Beliau baru mau baca pada saat istriahat atau break makan siang. Beliau selalu keki dengan sikap orang Pakistan di kantornya tentunya karena selalu membaca koran atau ngobrol pada saat jam kantor. Begitu juga dalam kunjungan ke rumah, beliau tidak akan menerima tamu kecuali sudah dengan perjanjian terlebih dahulu. Saya sangat respek sekali dengan sikap kedisiplinan yang beliau terapkan tersebut, sehingga di kota Jeddah beiau menjadi benckmaking untuk sebuah contoh yang baik dalam disiplin.

Ketika kembali dari Jeddah saya bertemu dan berguru dengan Cak Nur di kampus UPM. Dari beliau saya banyak mendapatkan ilmu baru yang lebih hebat dari gur-guru saya di Universitas Al-Azhar Mesir. Kalau dari Mesir saya mendapatkan pengetahuan dasar tentang keislaman, misalnya tafsir Al-Qur'an. Dari Cak Nur saya belajar saripati Al-Qur'an. Selama ini saya baru berada pada tataran permukaan Al-Qur'an. Dari Cak Nur saya belajar substansi Al-Qur'an.

Nah.. dari situasi dan kondisi masyarakat Indonesia Tripoli saya belajar dari kekurangsadaran mereka akan hakikat kehidupan. Saya belaajr dari keslahan orang. Seperti prinsip yang tulis disamping meja kerja saya, yang saya kutip dari Majalah Nirmala bahwa:'ORANG-ORANG YAG KAU TEMUI DALAM HIDUP INI, SIAPAPUN DIA, ETAH MENYENANGKAN ATAU MENYAKITKAN, AKAN MEMBUATMU MENEMUKAN SIAPA DIRIMU, DAN AKAN JADI APA KELAK DIRIMU".

Sabtu, 19 Juli 2008

PELAJARAN PENTING DARI M. NATSIR

Generasi muda dan Pejabat membaca kembali buah fikiran tokoh pejuang Bangsa yang Agung ini. Berikut ini resonansi Republika yang ditulis oleh Zaim Ukhrawi bisa menjadi pelajaran menarik bagi kita semua yang sudah melupakan persoalan bangsa dan para pejuangnya; bahkan Sekolah Tinggi Moh. Natsir nasibnya seperti apa, tidak banyak yang tahu, juga letaknya dimana, saya yakin masih banyak yang tidak tahu dan bahkan belum pernah mendengar ada yang namanya Sekolah Tinggi Moh. Natsir.

Republika, 18 Juli 2008

Lonceng Natsir

Zaim Uchrowi

Nama daerah itu makin terlupakan. Sama dengan sosok besar yang dilahirkan di dataran tinggi nan sejuk di Sumatra Barat ini. Lembah Gumanti kini lebih dikenal sebagai Alahan Panjang. Di situlah seratus tahun silam, tepatnya 17 Juli 1908, sang pengukir peradaban Islam itu berasal. Ia Mohammad Natsir.

Tak sedikit tokoh umat yang terinspirasi (atau merasa terinspirasi) oleh Natsir. Tokoh-tokoh yang pernah melejit sebagai 'intelektual muda Islam', hampir selalu pernah dianggap sebagai Natsir muda. Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Juga Amien Rais. Anwar Ibrahim dari Malaysia pun tak luput dari masa dianggap sebagai Natsir muda. Tentu banyak nilai-nilai Natsir yang diserap para tokoh itu. Tapi, tak semua mampu mengikuti seluruh sisi Natsir. Ada yang gagal meneladani kesederhanaan dan kerendahatian Natsir. Ada yang kurang sesabar sosok ini.
Natsir juga bukan sosok yang selalu sabar. Sesekali ia juga masih tampak marah. Tetapi, dalam konteks membangun umat dan bangsa, ia seorang pendakwah sejati. Seorang yang selalu berpegang pada prinsip-prinsip kesantunan dan kesabaran dalam melangkah. Prinsip itu selalu dijaganya. Dengan kesantunan dan kesabaran ia jaga keutuhan bangsa dan umat ini. Baginya, bangsa dan umat bagai dua sisi berbeda dari keping mata uang yang sama. Langkah-langkahnya hampir selalu diperuntukkan bagi bangsa dan umat sekaligus.

Natsir sempat berpolemik panjang dengan Soekarno soal landasan bernegara. Tentu ia juga berseberangan aliran dengan Kasimo yang Katolik. Tapi, buat Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim ini, ia duduk dan berbagi pandang dengan mereka. Ketika bangsa ini terancam terbelah-belah, Natsir mengajukan 'mosi' yang mengukuhkan kesatuan Indonesia sebagai republik. Langkah yang sangat menguntungkan Soekarno dalam memimpin. Natsir pun tak risau ketika tak lama kemudian Soekarno seperti tak mengingat jasanya. Bahkan, menjebloskannya ke tahanan.

Hal serupa terjadi semasa Soeharto. Ia telah membantu Soeharto menata kembali negeri ini setelah carut-marut G30S/PKI. Setidaknya dialah yang menjadi kunci pembukaan hubungan kembali dengan Malaysia. Tapi, ia mendapat perlakuan yang tak semestinya ia dapatkan sebagai negarawan. Buat Natsir itu bukan soal. Ia berbuat dan berbuat semata untuk kebaikan bangsa dan negara. Bukan buat kegagahan, kekuasaan, dan harta sebagaimana kebanyakan kita. Ia, sekali lagi, seorang pendakwah sejati. Seorang yang mensyukuri setiap keadaan yang dihadapinya. Seberapa pun buruk keadaan itu. Ia akan antusias memperbaikinya. Ia seorang yang akan melihat gelas yang separuhnya berisi air sebagai 'setengah penuh'. Bukan 'setengah kosong'.

Dalam berpolitik untuk umat, Natsir telah mengukir karya yang hingga sekarang belum ada tandingannya. Baginya, keislaman akan selalu berjalan seiring dengan intelektualitas, profesionalitas. Partai Masyumi yang dibangunnya adalah representasi cara pandang itu. Baginya, berpartai bukan buat kedudukan dan harta. Berpartai adalah buat memperjuangkan nilai-nilai kabangsaan dan keislaman yang mencakup intelektualitas-profesionalitas. Ini sisi lemah bangsa dan umat ini, hingga tertinggal dari bangsa lain. Banyak tokoh bangsa dan umat kita saat ini yang lemah dalam intelektualitas. Apalagi profesionalitas. Padahal, tak akan ada bangsa dan umat yang dapat maju tanpa itu.

Lima belas tahun silam sang pribadi itu meninggalkan hiruk-pikuk dunia ini untuk menghadap-Nya. Seabad kelahirannya sekarang seperti lonceng yang mengingatkan: tidakkah ini saat tepat buat merenung sejenak, belajar dari Natsir.

Saya sangat setuju dengan apa yang ditulis oleh Zaim diatas. Nampaknya kita bangsa yang melupakan pejuanganya...

Selasa, 08 Juli 2008

SOAL TEMUS LAGI, KASUS DI CAIRO

Hari ini, 9 Juli saya mendapat informasi bahwa tahun ini KBRI Kairo, sesuai dengan edaran KJRI Jeddah soal Temus 2008, hanya memberikan kepada mahasiswa S2 dan S3. Memang tahun sebelumnya terdapat temus dari mahasiswa S1. Pihak KBRI Kairo meminta ke pihak Pelaksana Haji Jeddah memberikan jatah juga kepada mahasiswa S1, tapi ditolak. (Saya akan klarifikasi ke kawan di Kairo). Setelah diklarifikasi ternyata berita tersebut benar, dan banyak juga mahasiswa yang melakukan chatting kepada beberapa kawan di Cairo.

Bila informasi ini betul, jadi apa yang dilakukan oleh KBRI Tripoli terhadap pelaksaan Temus Haji 2008 sudah betul dan sesuai dengan aturan. Bila ada surat dari KKMI yang memutuskan hubungan silaturahmi, - yang sebetulnya isinya tidak ada hubungan dengan substansi yang yang dipersoalka - jadi fitnah, dan fitnah kita semua tahu lebih kejam dari dari pembunuhan, seperti kata Al-Qur'an. Jadi, secara admiistrasi harus direciprocal secara surat. Tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa masalah itu sudah selesai seperti yang dikemukakan oleh salah seorang pengurus KKMI. Karena bila tidak diklarifikasi dengan surat, hal itu akan menjadi pembohogan sejarah. Bila suatu saat nanti ada yang meneliti mengenai peran KKMI Libya terhadap ... anu... dan surat itu menjadi pegangan dan dokumen otentik, padahal oleh pihak yang menandatangani tidak lagi berlaku isinya... apalah jadinya. Apa kata dunia....?

Apa yang terjadi mungkin bisa ditarik ke belakang pada persoalan yang panjang, yang saya sendiri -Wallahu A'lam- tidak tahu, karena sya bru bergabung beberapa bulan di Tripoli. Tapi memang harus dilakukan pembinaan internal maupun eksternal, sehingga tidak ada yang merasa di'kucilkan' dan sebagian lagi di'manjakan'. Kalau mau pakai istilah politiknya mah... jangan pakai politik belah bambu; satu diinjak dan satu lagi diangkat..

Dan persoalan ini harus dilihat dengan arif.... masing-masing pihak berjiwa besar...

Minggu, 06 Juli 2008

CERITA SOAL TAHLIL

Saya mau cerita sedikit kejadian soal tahlil. Peristiwa ini terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu dan sempat diliput oleh beberapa media cetak mungkin juga media elektronik. Kisahnya adalah meninggalnya seorang istri karena demam berdarah dan disusul oleh anak laki-lakinya yang juga meninggal dunia. Persoalannya adalah keluarga ini adalah keluarga kelas menengah, ayah dan ibunya seorang dokter spesialis dan mempunyai rumah sakit, dia tinggal di kawasan bagus (Kebayoran Baru), lingkungan rumah asri, terpelajar dan bekerja di sebuah Bank ternama. Ayah dan ibunya anggota kajia saya dan di pondk Indah dan saya menjadi salah satu narasumber ari beberapa narasumber yang lain seperti Wahyuni Nafis, Asep Usman Ismail, Mulyadhi Kartanegara, Zainun Kamal, Umar Sahab, dan lain-lain. Kebetulan saya juga diminta menjadi pemberi tausiyah pada acara takziyah tersebut.

Saat takziyah saya melihat beberapa jamaah yang dari penampilan mereka kita tahu dari kawasan pinggir Jakarta. ternyata mereka adalah anggota jamaah salah seorang keluarga shibul musibah, kelompok mushalla. Mereka membaca tahlil, karena keluarga tersebut adalah orang yang selam ini 'dalam tanda kutif' berpendapat tahlil adalah bid'ah. jamaah itu datang beberapa hari dan selalu dibacakan tahlil. Pada hari ketiga, acara lebih meriah karena dihadiri oleh rekan sekerja al-marhumah dari Bank, baik yang muslim maupun yang non-muslim. kawa2nya membacakan puisi dan pernyataan belasungkawa lainnya. Waau diselingi dengan tahlilan juga. Saya faham suaminya sagat terpukul, sedih dan seribu satu mcam perasaan kepedihan, karena memang keluarga muda bahkan putri bungsunya masih bayi. Singkatnya, pada hari ketiga itu, dia mengatakan terus terang, bahwa selama ini saya tidak menganut tahlilan, tapi ketika saya merasakan kesedihan yang sangat mendalam dan tidak ada yang dapat menghibur hati saya kecuali bacaan tahlil yang dibacakan oleh para jamaah.

nah.. mungkin ini menjadi sekelumit pelajaran bagi yang anti tahlilan. Ketika bisa 'garang' karena tidak ada persoalan. Tapi ketika mengalami musibah kehilangan orang yang paling dikasihi dan dicintai, apa yang kira-kira dilakukan.

Cak Nur pun ketika meninggal selama jenazah disemayamkan di Aula Kampus Universitas Paramdina dibacakan tahlil dan hari-hari berkabung berikutnya.


Yang paling bijak dalam soal ini, adalah saling menghormati antara yang megikuti faham tersebut dengan yang tidak ikut. Karena persoalan furuiyah ini sudah final dibahas oleh Imam Mazhab ribuan tahun lalu. Sehingga kita tidak habis energi untuk membahas yang tidak pernah habis-habisnya...

CERITA SOAL BID'AH

Sedikit cerita soal bad'ah. Peristiwanya sudah cukup lama, akrena soal bida'ah cukup menyita perhatian di Tripoli saya ceritakan lagi. Peristiwa terjadi pada tahun 2001 ketika saya menunaikan ibadah umrah bersama Cak Nur, Pak Benyamin Parwoto, Budhy Munawar-Rachman, M. Wahyuni Nafis dan jamaah Paramadina. Dalam perjalanan pesawat dari Jakarta-Jeddah saya mndapat kursi paling belakang. Disebelah saya duduk seorang Saudi. Karena didekat lokat pesawat ada kora beebahasa Arab 'Al-Saharq Al-Awsat' saya pun mengambil dan membacanya. Melihat saya bisa berbahasa Arab maka terjadilah dialog dalam bahasa Arab. Saya tanyakan kesan Saudi tadi tentang kunjungannya di Indonesia. Dia katakan bahwa Indoesia alamnya bagus, hijau dan menakjubkan. Tapi, banyak bid'ah, kata dia. Saya tanya lagi, apa itu bid'ahnya? Dia jawab, banyak bedug di masjid. Oh.. kata saya. Saya lanjutkan, saya juga banyak melihat bid'ah di masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Saudi. Dia tanya, apa itu?. Saya bilang, itu loud speaker yang ada di kedua masjid Suci itu'. Saudis itu mulai sedikit emosi dan marah. Akhirnya terjadilah diskusi yang lebih serius. Saya katakan anda harus banyak belajar dan membaca, terutama ilmu-ilmu sosial. Saya katakan, bahwa bedug adalah teknologi made in Indonesia yang sangat sederhana, sedangkan loud speaker adalah teknlogi canggih made in Japan. Fungsinya sama untuk memberitahukan masuknya waktu salat. Karena struktur daerah Indonesia sangat berbeda dengan struktur daerah Saudi. Indonesia berhutan dan banyak pohon, sehingga kalau kamu berteriak tidak terdengar wala jaraknya dekat; sedangkan gurun pasir yag terbuka lebih terdengar jelas. Maka salah satunya utuk memberithukan msuk waktu salat adalah dega kentogan atau bedug. Jadi subsatnsi antara bedug dn speaker sama. Kalau bedug nda bilang bid'h, maka loud speaker pun bid'ah juga (yang dia maksud degan bid'ah dalah bertentangan dengan Islam. Semua yang tidak diperbuat Nabi itu bid'ah). Aneh... banyak ibdaha yang tidak dilakukan Nabi pun dilakukan di Saudi. Contoh kecilnya, salat tarawih. Di Masjidil Haram dan Masjid Nabwi salat tarwih 20 rakat plus 3 rakaat witir. Pegkodifikasian Mushaf Al-Qur'an juga bid'ah. Kalau mau mempertahankan argumen dia, bca saja AL-Qur'an dalam tulisn tulang belulang dan pelepah kurma. Bahkan King Fahd membuat Lembaga Percetaan Al-Qur'an yang sangat canggih yang notebene adalah bid'ah. Gak mikir orang yang sedikit-sedikit bilang bid'ah. Kalau di Indonesia, saya tahu mereka yang begitu hanya modal 'semangat' doang, tapi ilmu dangkal. Kebanyakan kalangan umum yang tidak belajar sejarah Tasyri Islam dengan segla fase pembentukannya. Kalau dia belajar itu saya yakin pandangannya akan berbeda. Makanya, belaajr dulu ke Al-Azhar di Mesir.

Karena sistem pengajaran dan otoritas agama di Saudi tidak mengenal dialog, dan memahami agama secara literal, bahkan mengagugkan stu ulama saja dan mengenyampingkan pendapat ulama lain. Coba lihat referensi mereka hanya kutipan ulam Saudi yang memang bermazhab beda. yng dikembangkan pada poligami dan lain-lain. Saya teringat Dekan saya di Universits Al-Azhar pada waktu saya kuliah, Prof. Dr. Muhyiddin Al-Safi, sebelum Dekan dijabt oleh Prof. Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk, sekarang Menteri Wakaf Mesir. Beliau bercerita bahwa ketika beliau diminta menjadi dosen di salah satu Universitas di Saudi, beliau mengkritik pandangan Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah adalah rujukan utama Syeikh Muhammad binAbdul Wahab, yang dinisbahkan menjadi Wahaby, tapi di Saudi lebih memakai istilah 'Salafi'. Kata Prof. Dr. Muhyiddin Al-Safi bahwa Ibn Taymiyah bukan Nabi dan tidak ma'shum, sehingga pendapatnya boleh saja dikritik terutama dalam konteks ruang dan waktu (kekinian dan kontekstualisasi). Akhirnya hari itu juga beliau diberi tiket disuruh pulang ke Mesir. Itu aneh, perbedaan pendapat kan sesuatu yang biasa dalam Islam. Diantara sahabat yang satu dengan yang lain biasa terjadi perbedaan sudut pandangan.

Jadi, kawan-kawan yang melihat sesuatu sedikit-sedikit bid'ah, beragama menjadi kering dan kerontang. Sunnah difahami pakai celana setengah dengkul dan berjenggot. Itu kan hrus kita dari sisi Fikih Prioritas. Barangkali itu masuk ke dalam kategori prioritas yang kesian juta satu. Ada prioritas yang lebih utama dan pokok. Ketika kita bisa mengkontestualisasikan pesan agama dalam kehidupan keseharan maka beragama menjadi indah dan mudah. Ini adlah pesan nabi kepada sahabat Muaz bin jabal ketika mau berangkat ke Yaman sebagai utusan Nabi untuk mengajarkan mereka agama Islam. Apa kata Nabi, Yassituu walaa tu'assiruu', Mudahkanlah dan jangan susahkan'. Hadist Nabi yang dipegang oleh Prof. Dr. Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam pendapatnya tentang agama.

MENGISI PENGAJIAN MASYARAKAT DI KBRI TRIPOLI



KBRI Tripoli menjadi tempat untuk mengadakan pengajian bagi masyarakat Indonesia yang berada di sekitar Tripoli. Pengajiannya pun santai. Dimuai pada jam 11.00 sampai jam 13.00, kemudian dilanjutkan shalat Jum'at dan diteruskan degan makan siang yang dikelola oleh Ibu-Ibu Home Staff secara bergiliran. Sebuah sunnah yang baik, semoga amal kebaikan ini, mengelola pengajian dan menyediakan makanan gratis menjadi amal kebajikan di sisi Allah. Tenaga pengajar pengajian diisi oleh mahasiswa, begitu juga pengajian untuk anak-anak juga diisi oleh mahsiswa juga pada jam yang sama, sehingga Bapak dan Ibunya juga ngaji, dan salat jumat.

Karena mahasiswa dalam msa ujian semester dan juga barangkali ada persoalan surat pemutusa hubungan dari KKMI terhadap semua kegiatan KBRI, saya diminta untuk megisinya. Karena pertimbangan ujian mahasiswa saya bersedia, bahkan dua sesi berturut-turut, dan sesi ketiga dengan memutar film.

Pada sesi pertama dan kedua saya membahs konsep taskhir dalam Al-Qur'an dan hubungannya dengan fungsi kekhalifahan manusia di dunia; manusia sebagai target penciptaan alam semesta. Sisi kemuliaan dan Allah memuliakan manusia pada hakikatnya, walau kemudian bisa menjadi terhina dan nista bila keluar dari jalan Allah. Konsep taskhir tersebut intinya, bahwa manusia menjadi target penciptaan dan alam smesta yang begitu luas dan melimpah ruah sebagai infrastruktur untuk menunjang dan mendukung hidup manusia. Inilah rahmat dan kasih sayang Allah kepada makhluk manusia. Oleh karena itu dilihat dari sisi ini, alangkah tidak seimbangnya persentase yang diminta sebagai pengabdian kepada Allah lewat rukun Islam dibandng anugerah yang diberikan kepada manusia. Hal ini harus disadari betul.

Seorang penulis Amerika menulis sebuah buku yang tidak ada daftar isinya, tapi hanya mencatat hal-hal yang patut disyukuri. Mulai dari bangun tidur saja, kita meghirup udara segar berisi oxigen, gratis. Cna kalau diminta membayar pada Tuhan. pasti gak bisa bayar karena mahalnya harga oxigen. Terus rasakan hal-hal kecil lain yang patut disyukuri. Belum hal-hal yang besar lainnya. Jadi benar-bnar keterlaluan yang namanya manusia bila lupa pada penciptanya. Sungguh keterlaluan.

Dalam pengajian itu saya gambarkan antara diri kita dengan kebesaran dan keagungan Allah. Atau mana 'Allhu Akbar' dalam dimensi kita. Coba bandingkan secara fisik, badannya merasa besar dibangdingkan dengan semut. Tapi menjadi kecil dibandingkan ruangan. Ruangan kecil dibandingkan rumah. Rumah menjadi kecil dibandingkan kota Trpoli. Tripoli menjadi kecil dibandingkan negara Libya. Libya menjadi kecil dibandingkan benua Afrika. Afrika menjadi kecil dibandingkan dunia (bumi), dan bumi menjadi kecil dibandingkan planet dan alam semesta, dan Allh lebih besar dn agung dari semua itu. Manusia hanya setitik debu, bahkan lebih kecl dari debu dabangdingkan keagungan Allah. Inilah makna 'takbiratul ihram, Allahu Akbr' yang kita ucapkn dalam salat. Tapi apakah itu sejati diucapkan dari lubuk hati yang terdalam? Gak yakin dech... Maka sungguh nista manusia an kita, bila mengingkari kenyataan tersebut. Apa yang bisa kita banggakan dihadapan Allah? nothing...

Nanti diteruskan..

TAUSIYA DI WISMA RI

Jumat, 4 Juli 2008 saya diminta oleh Dubes RI untuk memberi tausiyah pada acara ulang tahun kematian putri beliau Sita Edwina Sanusi, yang wafat 7 tahun lalu dalam usia 14 tahun. Acaranya pun berisi sambutan Dubes, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yasin dan doa (tahlil) dan diikuti tausiyah sekaligus ditutup dengan doa saya. Karena momennya tentang peringatan kematian, maka sayapun berbicara aspek tersebut.

Pada intinya saya berbiacara msalah ii bisa dilaihat dari dua sisi. Sisi pertama kita mendoakan bagi si mayit, dn sisi kedua peringatan bagi kita yang masih hidup. Bahwa antara keduanya masih dalam siklus yang berkesinambungan. karena kematian bagi makhluk hidup adalah suatu kepastian. Kalau hal lain merupakan sesuatu yang tidak pasti bagi manusia, tapi kematian adalah kepstian. Hal ini ditegaskan oleh Al-Qur'n dengan kata 'al-yaqiin' (pasti). "wa'bud Rabbaka hattaa Ya'tiayakal Yaqiin'. (Hambakanlah dirimu sampai datang suatu kepastian (mati). Siklus dialektika kehidupan akan berputar pada aras kemanusiaan sampai kiamat datang. Kalau seseorang melakukan hal kepada orang yang sudah meninggal, seperti senantiasa mendoakannya, misalnya, maka hal yang sama juga akan dilakukan oleh keluarga dan keturunannya yang masih hidup. Ini adalah sunnatullah. ( sebelum melihatnya sebagai bid'ah, bagi yang memandangnya bid'ah. Belum faham bid'ah, sudah menjustifikasi bid'ah). Spirit itu yang saya kemukakan. Sisi kedua adalah peringatan dan peng-ingatan- bagi kita yang masih hidup, bahwa kita pasti akan mati. kematian datang kapan saja. Sejak dalam kandungan (keguguran), keluar berojol dari rahim, balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua dan renta. Ini adalah fenomena kematian dan kehidupan. Kematian adalah termasuk ilmu yang Allah rahasiakan kecuali untuk diri-Nya. Andaikan sekonyong-konyong dicabut nyawa dan belum siap? Apa yang bisa diharapkan. menyesal kemudian tak ada gunanya. Karena andikan kita mati, maka mati itu akan menjemput kita, seperti dikatakan dalam Al-Qur'an. Ini sesungguhnya yang menjadi spirit untuk hidup kompetitif dalam berlomba mengejar kebaikan. Any time diminta menghadap pemliknya kita siap. Hal ini diajarkan oleh nabi melalui fenomena kehidupan keseharian seseorang melalui sunnah (kebiasaan) dia. Bila kebiasaannya positif, seperti selalu beribadah dan membaca Al-Qur'an, Insya Allah dia akan mati ketika sedang membaca Al-Qur'an. Begitu juga kalau kebiasaan yang negatif, maka dia akan dipanggil dalam kebiasaannya, seperti tukang kebut di jalan raya, atau pemabok, ataupun tukang zian (nauzubillah). Dan nabi pun megingatkan bahwa seseorang itu akn dbangkitkan di alam mahsyar nanti sesuai dengan cara kematiannya. Kalau kematiannya dalam keadaan baik, makan akan dibangkitkan dengan keadaan baik. Tapi bila kematiannya dalam keadaan buruk, maka dia pun akan dibangkitkan alam keadaan buruk. Apalah artinya kehidupan dunia, bila the thrue life, alam akherat kita menderita. Padahal alam akherat adalah termial terakhir hidup kita. Hidup di alam dunia hanya transit saja, dalam meneruskan perjalanan selanjutnya. (lihat fruit of the month, Juli 2008 pengajian Masyarakat Indonesia Al-Sarraj, Tripoli).

Itu kurang lebih point yang saya kemukakan dalam tausiyah saya. Semoga ada manfaatnya, terutama bagi saya, bagi pendengar dan pembaca blog ini. Semoga

PERSOALAN MAHASISWA LAGI

Seri terakhir persoalan mahasiswa Indonesia Tripoli. Persoalannya adalah memang ada persoalan dalam mahasiswa itu sendiri. Terdapat banyak 'faksi' dalam tubuh mahasiswa yang sebenarnya merupakan wajah terpecah belahnya mahasiswa. Banyaknya kelompok yang saling toleran. Aneh.. Adanya kelompok NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaah dan lain-lain, yang saling gotok-gontokkan. Pokoknya tidak akur. Bagaimana ahasiswa Islam dan kuliah di Kuliiyat Dakwah Islamiyah seperti itu, yang notebene bertentangan dengan Islam dan juga bertentangan dengan substansi ajaran Islam.

Persoalan kedua adalah rekruitmen dari tanah air yang menggunakan 'uang pelicin', sehingga kurang mempertimbangkan segi qualifikasi. Hal ini menyebabkan prestasi mahasiswa Indonesia di kuliah menurun dan hal ini dikatahui pihak pengelola Kulliyat Dakwah Islamiyah. Bahwa prestasui mahasiswa Indonesia semakin tahun semakin menurun prestasinya. Bagi mahasiswa yang nilainya rendah dan kurang prstasinya akan menyebabkan mereka tidak akan bisa melanjutkan kuliahnya di program S2. Nah.. masalahnya persyaratan Temus Haji mensyaratkan mahasiswa S2 dan S3. Mahasiswa yang keras memperjuangkan agar mahasiswa S1 dapat diikutsertakan pada program Temus - yang notebene bertentangan dengan peraturan umum Temus seperti yang dikeluarkan oleh KJRI Jeddah - pada hal tidak memenuhi syarat. Artinya batal demi hukum. Bagi mahasiswa yang berprestasi nampak enjoy saja, karena esempatan akan didapatnya ketika menjadi mahasiswa S2.

Hal ini juga dibuktikan oleh pengurus KKMI yang tidak sependapat dengan surat yang dikeluarkan oleh Ketua dan Sekretaris serta Badan Pertimbangan. Aneh.. Saya mendapatkan seorang pengurus bidang pendidikan yang justru berbeda dengan sang pengurus lainnya, dan mengatakan bahwa persoalan seperti yang ditulis di surat sudah selesai masalahnya. Aneh... kok persalan hubungan personal dengan organisasi disamakan. Saya katakan padanya, gubungan kita dengan pengurus yang menandatangani surat tersebut tidak ada persoalan, tapi persoalan secara organisasi harus diatasi secara organisasi juga. Karena surat sudah menyebar kemana-mana, bahkan ke luar negeri (Mesir dan Maroko) serta masyarakat. Kalau surat tidak diklarifikasi akan mengkhianati sejarah. Misalnya saja, nanti aa seseorang yang meneliti tentang Peranan KKMI dalam Hubungan Indonesia-Libya, dan mencari bukti-bukti tertulis sebagai bahan referensi mu mempertanggugjawabkan ketidakbenaran historis. Berdusta. nauzubillah.

Saya melihat bahwa persoalan internal dulu yang harus dibenahi. Diantara semua elemen mahasiswa harus ada toleransi mazhab yang tinggi. Tidak seperti sekarang yang main sikut sana sikut sini pada soal yang sepele dan mslah sudah final pada ulama dulu, seperti masalah tahlil contohnya. Kok masalah furuiyah yang simple saja menjadi besar, tidak mau hadir undangan kelompok yang menyelenggarakan tahlilan dsb..... Kenapa menjadi kerdil dan dunia menjadai teras sempit. Soal itu kan hak prerogatif Tuhan, bukan otoritas manusia untuk menyatakan doanya diterima atau tidak. Manusia hanya bisa memohon. Soal diterima tidaknya doa tadi, itu hk Tuhan. Jadi sebetulnya bisa diambil jalan tengah (tawfik) yaitu dengan melihat substansi masalah itu. Intinya adalah doa. Ketika undangan itu kita lihat sebagai pembacaan doa untuk kerabat/keluarga yang te;lah meninggl dunia, selesai persoalan, dan kita datang bersama-sama ke undangan, baik kelompok yang berfaham sama atau berbeda.

Saya jadi teringat pesan sahabat saya etika bertemu di Lembaga Pershabatan Indonesia-Libya di Kuningan bersama Pak Sanusi, yang akan berangkat ke Trpoli sebagai Dubes RI, Prof. Dr. Achmad Syatori Ismail. Pesan dia, tolong damaikan para mahasiswa disana. Saya pikir suasana keilmiahan mahsiswa Tripoli sama dengan mahsiswa Mesir. Beliau berbicara seperti itu karena beliau pernah mengunjungi Tripoli, dan Kuliyyat Dakwah Islamiyah tentunya.

Kamis, 03 Juli 2008

PERSYARATAN TEMUS HAJI 2008

TATA CARA PEREKRUTAN TENAGA MUSIM HAJI
PADA PERWAKILAN RI DI LUAR ARAB SAUDI
TAHUN 1429 H / 2008 M


3. Persyaratan Umum:

a. Warga negara Indonesia beragama Islam dan berakhlak baik.
b. Laki-laki / Perempuan.
c. Mahasiswa program S2 atau program S 3
d. Tidak disertai keluarga (istri/anak).
e. Mampu berbahasa Arab dan atau Inggris.
f. Memiliki kondite baik bagi yang pernah bertugas sebagai Tenaga Musim.
g. Berumur minimal 25 tahun dan maksimal 50 tahun.
h. Bersedia ditempatkan di daerah kerja (Jeddah, Makkah dan Madinah).
i. Mengisi formulir dengan melampirkan: copy pasport, surat keterangan sehat dokter, copy ijazah/keterangan belaajr di luar negeri tahun 2008/1429 H, riwayat hidup, pas poto terbaru berwarna (3 x 4 cm) 6 lembar dengan latar belakang merah.
j. Menandatangani Surat Pernyataan (sebagaimana terlampir), dilegalisir oleh Perwakilan setempat.
k. Menandatangi Perjanjian Kerja.

4. Persyaratan Khusus
5. Hak, Kewajiban, Larangan dan Sanksi.
6. Pelatihan.
7. Lain-lain.

Jeddah, 20 Mei 2008
A.n. Kepala Perwakilan RI
Staf Teknis Urusan Haji,

ttd

DR. Nur Samad Kamba, MA


Catatan:
Saya tidak masukkan semuanya, kecuali yg ada hubungannya dengan persyaratan Temus saja.

Jadi cukup jelas peraturan yang dibuat oleh Teknis Urusan Haji KJRI Jeddah. Persoalannya sangat jelas bagaikan mentari bersinar di siang bolong. Persoalan di luar persyaratan itu, adalah mohon kebijaksanaan. Hal ini yang harus difahami dulu.

Pihak KBRI Tripoli sangat koperatif untuk mengusulkan mahsiswa di luar persyaratan diatas seperti yang saya ceritakan diblog dibawah ini.

Tapi mahsiswa yang tidak kooperatif, sampai saat ini tidak memberikan data mereka kepad pihak KBRI Tripoli. Karena waktu tetap berjalan dan dikejar dengan dekatnya masa pelaksanaan Haji. Seharusnya, bila jernih memandang masalah ini, akan banyak solusi yang bisa ditawarkan.

Saya melihat mhsiswa Indonesia di tripoli tidak kreatif mencari peluang di sela-sela waktu libur. Padahal segudang kesempatan, seperti misalnya menjadi guide/pembimbing pad travel biro Haji Umrah dari tanah air; menerjemah buku-buku yang dapat diterbitkan oeh Penerbit di tanah air, seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Mesir; menulis novel maupun cerpen seperti yang dilakukan oleh Habiburrahman El-Syirazy (Kang Abik), dan lain sebagainya, sehingga 'kue' jatah Temus yang sangat kecil tidak menjadi rebutan.

Insya Allah diteruskan ...

Selasa, 01 Juli 2008

MAHASISWA INDONESIA DI TRIPOLI

Di Tripoli Libya terdapat kurang lebih 120an mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Kulliyat Dakwah al-Islamiyah, sebuah Universitas dibawah Organisasi World Islamic Call Society (WICS) pimpinanan Dr. Muhammad Ahmad Al-Syarif. Organisasi berwibawa di Libya dan banyak aktiftas dakwahnya ke berbgai penjuru dunia, terutama Afrika, Eropa Timur (Balkan), Asia dan lain-lain.

Mahasiswa yang belajar di Kulliyat Dakwah tersebut semuanya diasramakan plus makan dan uang saku setiap bulan, walau tidak besar. Perkuliahan di Libya, sama dengan Mesir, mengalami masa libur cukup, kurang lebih 3 bulanan pada musim panas, yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September. Persoalan administrasi Kulliyat Dakwah berbeda dengan di Universitas Al-Azhar di Cairo. Kalau di Mesir semua urusan personal menjadi tanggungjawab mahasiswa, maksudnya seperti dokumen/pasport dipegang oleh pemiliknya. Tidak oleh pihak Universitas Al-Azhar. Berbeda dengan di Kulliyat Dakwah semua itu dipegang oleh pihak Kampus. Artinya ketika mahasiswa ingin ke luar Libya harus mendapatkan izin dari Dekan/Rektor dan semua administrasi exit permit juga diurus oleh pihak Kampus. Artinya mahasiswa tidak mempunyai kebebasan apa-apa. Hal ini menjadi beban psikologis bagi para mahasiswa yang semakin lama semakin mengkristalisasi dalam diri mereka. Karena persoalan administratif ini mereka tidak banyak melakukan 'journey' dalam masa liburan kuliah. Dari pihak kampus juga cukup bijaksana untuk menambah uang saku mereka, yaitu dengan membuat 'kerja bakti sekitar kampus' dan diabayar di luar beasiswa yang diberikan.

Berbeda dengan mahsiswa diMesir yang sangat kreatif karena mereka bisa menentukan kemana mau mereka selama mengisi liburan. Pada zaman saya banyak mahaiswa Mesir yang mencari 'pengalaman kerja' di Eropa seperti Belanda, Jerman atau Italia. bahkan ada seorang teman saya yang dipulangkan dari Belanda ke Indonesia, bukan ke Mesir. Selain itu mereka juga bekerja sebagai Tenaga Musim (Temus) pada musim haji di KJRI Jeddah (Fungsi Haji KJRI Jeddah). Karena Temus quota sangat terbatas mereka mencari pekerjaan sebagai guide/muthawif pada Biro Perjalanan Umrah Haji Indonesia yang jumlahnya sekarang lebih dari 400 buah Travel. Bahkan banyak juga yang bekerja pada Muassasah dan lain-lain. Karena mereka mendapatkan kebebasan untuk memilih kemana maunya.

Psikologis (kebebasan) ini tidak ada pada mahasiswa Indonesia di Tripoli, sehingga ketika ada peluang yang sangat terbatas terakumulasi pada peluang tadi. Contohnya, misalnya jatah Temus Haji di KSA tahun 2008. Tripoli diberikan quota hanya 6 orang, dengan persyaratan yang disampaikan oleh pihak Fungsi Haji KJRI Jeddah antara lain, usia antara 25-50 tahun; diprioritaskan mahasiswa S2-S3 (yang sedang riset thesis dan disertasi) dll. Pihak KBRI Tripoli melaksanakan fungsi dan kewajibannya dengan mensosialisasikan kepada pihak KKMI (Kerukunan Keluarga Mahasiswa Indonesia) Tripoli; bahkan mengundang mereka ke KBRI, kebetulan saya hadir dalam rapat tersebut.

Tapi yang justru usaha mereka menyalahkan pihak KBRI karena tidak mengikutsertakan mahasiswa S1. KKMI lewat pengurus dan Ketua serta Badan Pertimbangan ngotot agar mahsiswa S1 diikutsertakan, yang notabene bertengtangan dengan aturan yang dikeluarkan pihak KJRI Jeddah. Tapi pihak KBRI Trpoli mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan mahasiswa tingkat akhir yang sudah selesai tapi hanya menuggu pengumuman kelulusan dipertimbangkan dan akan diusulkan ke KJRI Jeddah agar dapat dipertimbangkan menjadi Temus Haji 2008, degan syarat mendapat izin dari pihak Rektor/Dekan Kulliyat Dakwah dan diizinkan tinggal di asrama sampai keberangkatan mereka pada awal bulan Nopember 2008. KBRI meminta hal ini, tapi tidak dapat direalisasikan oleh KKMI sampai blog ini ditulis.

Mereka bukannya melakukan yang diminta, tapi malah membuat surat yang ditujukan kepad KBRI Tripoli, yang bernada 'fitnah' dan tidak pantas dan tidak elegan, yang ditembuskan kepada Perwakilan Mahasiswa MEsir (maaf kalau saya keliru) dan Juga ke Maroko, dan masyarakat Indonesia di Tripoli Libya. Jadi, inti persoalan yang sudah tuntas oleh KBRI berdasarkan peraturan KJRI Jeddah dipelintir oleh sebagian mereka bahkan dengan mendatangi rumah-rumah warga masyarakat Indonesia di Tripoli.

Saya heran, melihat kenyataan tersebut, kok mahasiswa Kulliyat Dakwah Islamiyah, gak bisa membedakan mana yang fitnah dan mana yang benar. Sambil guyon kepada kawan saya bilang 'Innalillaahi wa innaa ilayhi raajiuun'. Bagaimana menjadi panutan umat, kalau perssoalan sepele saja seperti itu tidak faham.

Bhkan mereka tidak mengerti 'adab al-ikhtilaf' ketika silaturahmi di rumah Home Staff acara silaturahmi dijadikan ajang debat dengan Duta Besar, yang sebenarnya masalah tersebut sudah final pada pertemuan dengan KBRI 4 Juni 2008. Sangat tidak etis dan wajar sikap mereka. Tapi Pak Dubes sangat mengayomi dan mendidik, bahwa persoalan mereka akan ditampung dan pihak KBRI Tripoli akan mengirim nama-nama mereka (sebanyak 12 orang) ke JRI Jeddah dengan syarat besok (waktu, Ahad, 29 Juni 2008) sore sudh masuk ke KBRI, karena melihat waktu yang semakin dekat pada proses Temus bagi Panitia Haji di Jeddah. Tapi, lagi-lagi mereka tidak melakuan kesepakatan yang disepakati (Mereka 'Sami'na wa Ashayna). Aneh... memang, tapi begitulah kenyataannya. Insya Allah akan diteruskan di blog berikutya..