Minggu, 18 Mei 2008

KISAH NYATA


Kisah ini saya ceritakan dari kisah yang diceritakan kawan saya se rumah di Tripoli. Dulunya dia adalah mahasiswa yang dikirim belajar di Kulliyat Ad-Dakwah Al-Islamiyah, 10 tahun yang lalu. Pada saat itu, transport umum di Tripoli masih jarang (sekarang pun masih jarang), kecuali taxi. Pada saat itu taxinya masih jenis yang jelek. Sekarang sudah tidak ada lagi.

Karena baru datang mereka ingin menelpon orang tua mereka masing-masing ke Indonesia. Mereka hendak pergi ke wartel di kota yang harganya lebih murah. Walau wartel dekat asrama ada, tapi harganya mahal. Pada waktu itu beasiswa mereka belum keluar (karena baru datang). Akhirnya ada seorang lelaki yang tiba-tiba berhenti dan bertanya kepada mereka mau kemana. Mereka jujur bilang mau ke kota. Lelaki itu mau mengantar ke tujuan mereka. Setelah berjalan terjadilah dialog antara lelaki Libya dengan tiga orang mahasiswa indonesia tadi. Dan meluncurlah cerita, bahwa mereka baru datang dari indonesia, mau telpon ke orang tua, tapi cari wartel yang murah, karena beasiswa kami belum keluar dan lain-lain. Sebenarnya wartel itu belum sampai ke kota.

Mula-mula mereka curiga, jangan-jangan kita dijahatin, begitu dalam hati mereka. Akhirnya lelaki itu mengeluarkan amplop yang berisi uang. Amplop itu masih tertutup. Barangkali gaji yang baru dia terima. Mahasiswa kita terkejut ketika orang itu memberikan uang sebesar LD 50 (kl USD 50) untuk ongkos menelpon orang tua mereka ke Indonesia, bahkan lelaki itu memberitahu pihak wartel agar melayani mereka dengan baik. Karena mereka belum lancar bahasa komunikasi sehari-hari dengan logat Libya (slang). Bahkan orang itu menawarkan mengantar balik mereka ke asrama dengan menunggu hingga selesai menelpon, walau mereka enggak mau. Malu, sudah ditolong macem-macem masih mau ditawarkan seperti itu.

Bayangkan, cerita seperti ini barangkali sesuatu yang mustahil terjadi di Jakarta bagi pendatang asing yang tiba beberapa hari di Jakarta dan sedang dalam kesusahan. Sayang, kata kawan itu, mereka lupa meminta nama dan alamat orang itu. Ingin rasanya membalas kebaikan orang tadi setelah mereka merasa mapan di Tripoli.

Ternyata kesan saya dan banyak pengalaman kawan-kawan yang lebih dulu menginjakkan kaikinya di Libya mendapatkan kisah yang mengesankan dan menjadi kenangan manis dalam hidupnya selama berada di Libya. Cerita seperti ini masih banyak saya dengar dari mereka seperti sopir taksi yang puter-puter mengantar tenaga kerja wanita ke majikannya yang belum tahu daerahnya, komunikasi bahasa belum lancar, bahasa Inggris tidak bisa, yang akhirnya diantar ke KBRI oleh taksi, bahkan dia merasa kasihan pada pembantu tadi dan tidak mau dibayar.

Taksi pun di Tripoli rata-ratanya punya hp dan biasanya menjadi langganan terutama bagi ibu-ibu. Mereka aman dan tidak macam-macam, apalagi kalau pemiliknya kakek (sudah berusia), yang bahkan menganggapnya seperti anaknya sendiri. Hal ini tidak terjadi di negara-negara Arab Gulf, misalnya dimana wanita tidak akan berani naik taksi sendirian, apalagi pada malam hari. Di Tripoli masih biasa terjadi. Saya rata-rata meninggalkan KBRI jam 21.00 malam dengan menggunakan taksi tapi saya rasakan aman-aman saja, tidak ada masalah.

Menarik kan? Makanya datang saja ke sana he..he..he..

Tidak ada komentar: