Nama Indonesia masih melekat di hati warga negara Libya, terutama kaum tuanya. Mereka sangat terkesan oleh peran Indonesia di Benua Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka.
Hal tersebut masih saya rasakan ketika berkunjung takziyah belasungkawa sahabat Libya yang meninggal dunia di sebuah pedesaan di luar kota Tripoli. Ceritanya ada seorang kawan Malaysia yang sudah menetap di Libya 13 tahun lamanya dan bekerja di perusahaan joint venture Malaysia-Libya, di bidang kontruksi jalan raya. Kawan Malaysia ini mempunyai karyawan warga Libya yang bekerja di perusahaan tersebut. Ketika orang itu meninggal dia masih berada di Kuala Lumpur dan tiga hari kemudian baru datang. Dia mengajak kami (saya dan dua orang kawan Indonesia) untuk takziyah ke rumah orang tuanya di kawasan Aziziyah, kurang lebih 80 km dari Tripoli.
Hari itu (Jum’at, 16 Mei 2008) cuaca tripoli cukup menyengat. Kurang lebih 37c. Sepnjang jalan menuju Aziziyah terrlihat kebun-kebun zaitun yang tumbuh subur sepanjang mata memandang. Satu bulan lagi zaitun akan memasuki musim panen. Bahkan bapak-bapak diplomat ada yang membali zaitun mentah dan memeroses sendiri menjadi zaitun yang siap dimakan untuk penambah selera makan. Ketika kami tiba di sebuah perkebunan, terlihat hanya ada tiga atau empat buah rumah di tengah perkebunan yang sangat luas. (Rumah-rumah di Tripoli besar-besar, kamarnya, ruang tamunya, kamar mandinya dll. Pokoknya serba gede). Kami disambut oleh ayah almarhum dan dua adiknya. Almarhum rupanya belum menikah. Kami lihat masih ada tenda untuk takziyah. Kami diterima di ruang tamu depan dan disuguhi air mineral sejuk dan juga teh khas libya. Teh campur na’na (mint) dengan aroma wangi dan kental. Cuma sayang, gelasnya super kecil. Cara penyajiannya langsung dari poci dan diberikan kepada hadirin satu persatu. Saya coba, rasanya ’laziz’ dan nikmat betul. Rasanya ingin tambah, tapi mau ambil sendiri sungkan. Karena tadi semuanya dilayani.
Kami datang paling dulu. Kemudian datang beberapa para tetua libya dengan pakain kebesarannya (kain semacam selimut yang diselendangkan, lihat photonya). Kami ngobrol kesana kemari, dari obrolan tentang kematian, agama dan berita dunia. Saya merasakan keakraban yang sangat hangat walau kami baru pertama kali bertemu. Seakan-akan sudah seperti kawan lama saja. Mereka sangat memuji indonesia. Pertama, Indonesia mereka tahu sudah maju dalam bidang industri. Walau ada masalah ekonomi-sosial, tidak menjadi persoalan, karena kalau industri kuat ekonomipun akan kuat, walau kami bantah bahwa persoalan Indonesia runyem sekali, mereka tetap membela Indonesia. Selama industri maju, kata mereka, otomatis ekonomi pun akan mengikuti. Berbeda dengan Libya, walau kaya minyak, tapi indiustrinya tidak ada’ kata mereka, tetap saja tidak bagus. Kedua, mereka bertemu dengan jamaah haji Indonesia di Makkah. Rupanya mereka melaksanakan haji pada musim haji tahun lalu. Mereka sangat terkesan dengan para jamaah haji kita yang tertib, rapih, sopan, santun dan memenuhi masjid Haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah dengan banyak melakukan shalat dan tadarus Al-Qur’an (walau masih taraf seremonial???). Dan banyak lagi pujian tentang Indonesia. Kesan saya, para tetua (Masyaikh) Libya masih terkesan positif dengan peran Indonesia terhadap perjuangan di Benua Afrika dan masih dalam memori mereka.
Terakhir datang adalah seorang alim (ustaz). Dia banyak memberi nasehat kepada ayah almarhum dan memberikan mauizhah hasanah bagi kita lewat cerita dalam kitab klasik tentang kematian. Beliau respek sekali dengan kami dan bahkan kami ambil gambar mereka dan kamipun berfoto bersama mereka. Itulah hasil kunjungan pertama saya ke keluarga Libya, dalam beberapa hari kedatangan saya ke Tripoli, yang ternyata sangat familir dan bersahabat dengan bangsa Indonesia, walau kami baru pertama kali bertemu.
Sebuah kesan yang sulit dilupakan.
Hal tersebut masih saya rasakan ketika berkunjung takziyah belasungkawa sahabat Libya yang meninggal dunia di sebuah pedesaan di luar kota Tripoli. Ceritanya ada seorang kawan Malaysia yang sudah menetap di Libya 13 tahun lamanya dan bekerja di perusahaan joint venture Malaysia-Libya, di bidang kontruksi jalan raya. Kawan Malaysia ini mempunyai karyawan warga Libya yang bekerja di perusahaan tersebut. Ketika orang itu meninggal dia masih berada di Kuala Lumpur dan tiga hari kemudian baru datang. Dia mengajak kami (saya dan dua orang kawan Indonesia) untuk takziyah ke rumah orang tuanya di kawasan Aziziyah, kurang lebih 80 km dari Tripoli.
Hari itu (Jum’at, 16 Mei 2008) cuaca tripoli cukup menyengat. Kurang lebih 37c. Sepnjang jalan menuju Aziziyah terrlihat kebun-kebun zaitun yang tumbuh subur sepanjang mata memandang. Satu bulan lagi zaitun akan memasuki musim panen. Bahkan bapak-bapak diplomat ada yang membali zaitun mentah dan memeroses sendiri menjadi zaitun yang siap dimakan untuk penambah selera makan. Ketika kami tiba di sebuah perkebunan, terlihat hanya ada tiga atau empat buah rumah di tengah perkebunan yang sangat luas. (Rumah-rumah di Tripoli besar-besar, kamarnya, ruang tamunya, kamar mandinya dll. Pokoknya serba gede). Kami disambut oleh ayah almarhum dan dua adiknya. Almarhum rupanya belum menikah. Kami lihat masih ada tenda untuk takziyah. Kami diterima di ruang tamu depan dan disuguhi air mineral sejuk dan juga teh khas libya. Teh campur na’na (mint) dengan aroma wangi dan kental. Cuma sayang, gelasnya super kecil. Cara penyajiannya langsung dari poci dan diberikan kepada hadirin satu persatu. Saya coba, rasanya ’laziz’ dan nikmat betul. Rasanya ingin tambah, tapi mau ambil sendiri sungkan. Karena tadi semuanya dilayani.
Kami datang paling dulu. Kemudian datang beberapa para tetua libya dengan pakain kebesarannya (kain semacam selimut yang diselendangkan, lihat photonya). Kami ngobrol kesana kemari, dari obrolan tentang kematian, agama dan berita dunia. Saya merasakan keakraban yang sangat hangat walau kami baru pertama kali bertemu. Seakan-akan sudah seperti kawan lama saja. Mereka sangat memuji indonesia. Pertama, Indonesia mereka tahu sudah maju dalam bidang industri. Walau ada masalah ekonomi-sosial, tidak menjadi persoalan, karena kalau industri kuat ekonomipun akan kuat, walau kami bantah bahwa persoalan Indonesia runyem sekali, mereka tetap membela Indonesia. Selama industri maju, kata mereka, otomatis ekonomi pun akan mengikuti. Berbeda dengan Libya, walau kaya minyak, tapi indiustrinya tidak ada’ kata mereka, tetap saja tidak bagus. Kedua, mereka bertemu dengan jamaah haji Indonesia di Makkah. Rupanya mereka melaksanakan haji pada musim haji tahun lalu. Mereka sangat terkesan dengan para jamaah haji kita yang tertib, rapih, sopan, santun dan memenuhi masjid Haram di Makkah dan masjid Nabawi di Madinah dengan banyak melakukan shalat dan tadarus Al-Qur’an (walau masih taraf seremonial???). Dan banyak lagi pujian tentang Indonesia. Kesan saya, para tetua (Masyaikh) Libya masih terkesan positif dengan peran Indonesia terhadap perjuangan di Benua Afrika dan masih dalam memori mereka.
Terakhir datang adalah seorang alim (ustaz). Dia banyak memberi nasehat kepada ayah almarhum dan memberikan mauizhah hasanah bagi kita lewat cerita dalam kitab klasik tentang kematian. Beliau respek sekali dengan kami dan bahkan kami ambil gambar mereka dan kamipun berfoto bersama mereka. Itulah hasil kunjungan pertama saya ke keluarga Libya, dalam beberapa hari kedatangan saya ke Tripoli, yang ternyata sangat familir dan bersahabat dengan bangsa Indonesia, walau kami baru pertama kali bertemu.
Sebuah kesan yang sulit dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar