Setelah beberapa minggu berada di Tripoli dan ikut aktif shalat berjamaah di masjid dekat flat kami, terutama pada hari libur resmi, yaitu jum’at dab sabtu, saya bisa mengikuti kehidupan keagamaan masyarakat kota Tripoli. Pada umumnya nuansa religius sangat kentara pada masyarakat. Setiap shalat fardu masuk, mereka umumnya berbondong-bondong memenuhi masjid. Bukan bagi penduduk yang berada di sekitar masjid, tapi juga bagi masyarakat yang kebetulan lewat di sekitar lokasi masjid. Mereka memarkir mobilnya di sekitar masjid untuk melaksanakan shalat terlebih dahulu. (Di sana tidak ada tukang parkir dan tidak ada pencuri mobil. Semua mobil diparkir di luar rumah). Pemandanan ini, misalnya kita bisa lihat bahwa pada jam-jam di luar shalat, dimana di sekitar masjid tidak ada mobil yang diparkir, tiba-tiba penuh pas waktu shalat masuk. Fenomena ini bukan hanya pada shalat-shalat tertentu saja, misalnya shalat jum’at seperti di Jakarta, tapi pada setiap shalat fardu.
Bahkan saya pernah mengalami ketika mau pulang ke rumah dari KBRI. Biasanya saya menggunakan taksi atau apa saja. Keluar gerbang KBRI saya dapati mobil pribadi memberikan isyarat lampunya (saya biasanya meninggalkan KBRI jam 21.00, sebelum Isya. Waktu Isya kl jam 21.45 dan maghrib jam 20.05). Akhirnya saya naik dan diantar ke flat saya, di daerah Hayy Al-Athar, antara Gurji dan Gargares, diapit oleh dua jalan raya protokol. Gargares adalah daerah kedutaan besar Negara-negara asing, yang berada di kawasan dekat laut. Bahkan Gargares ini merupakan daerah elitnya kota Tripoli sepanjang jalan ke pusat kota. Istilahnya di sana ‘madinah’. Kalau di Jeddah ‘balad’ lah gitu. Di dalam mobil kami ngobrol basa basi sambil mendengarkan radio yag ada di mobil. Karena flat saya ada diseberang jalan, dan saya minta diantar dulu ke seberang walaupun puterannya (u-turn) agak jauh. Karena saya takut menyeberang jalan, mobil-mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi dan di waktu malam). Dia bilang saya tahu kamu, karena pada waktu maghrib saya shalat di masjid di sebelah kamu, begitu dia bilang. Seperti saya ceritakan saya selalu mengenakan peci hitam setiap shalat fardu ke masjid. Karena saya sulit mengenal satu-persatu jamaah. Sedangkan mereka mudah sekali mengenali saya, karena satu-satunya orang asing di masjid itu. Saya yakin supir tadi tinggalnya bukan di sekitar kawasan masjid.
Jum’at (23 Mei 2008) seperti biasa saya shalat di masjid dekat flat, begitu juga shalat ashar. Shalat maghrib dan Isya saya tidak pulang. Ternyata saya tidak sendirian. Banyak jamaah yang menunggu waktu shalat Isya berjamaah sambil tadarus membaca al-Qur’an, anak-anak muda ada yang murajaah hafalan mereka dengan sesama, ada yang wirid dengan menggunakan tasbih. Saya membaca tadarus Al-Qur’an. Setelah selesai saya membolak balik mushaf, karena disitu ditulis ’Mushaf Al-Qur’an dengan rasam usmani berdasarkan qiraat Imam Qalun’. Sedangkan bacaan Al-Qur’an di Asia, termasuk Indonesia adalah ’qiraat riwayat Imam hafas dari Imam ’Ashim’. Ada perbedaan sedikit dengan qiraat imam Hafas. Kalau di maghrib Arabi ’qiraat’nya adalah ’qiraat imam Warasy’. Ternyata ada salah seorang jamaah yang memperhatikan saya, lalu dia mendakati saya dan memberikan sebuah tasbih. Karena di masjid biasanya terdapat tasbih yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk membaca wirid.
Aura religius saya rasakan sangat terasa. Masjid yang cukup enak dan udaranya juga segar. Masih peralihan musim dari musim dingin ke musim panas. Di setiap sudut tersedia air minum mineral komplit dengan dispenser dingin dan panas dengan gelas plastik. Kalau haus cukup ambil dan segarkan dahaga, seperti di Masjidil haram dan masjid Nabawi di Saudi. Sehingga kita pun sayang meninggalkan masjid, karena di flat pun tidak banyak yang dilakukan kecuali mendengarkan musik dan ngemil.
Suasana religius saya kira berbeda dengan suasana di masjid-masjid di Jakarta, dimana biasanya jamaahnya tidak banyak, dan juga ’dia-dia’ juga. Karena orangnya yang aktif ke masjid, ya.. mereka-mereka itu. Kemudian sehabis shalat tidak banyak aktifitas yang dilakukan, kecuali kalau ada pengajian. Fenomena ini yang saya lihat di sekitar Kemayoran tempat tinggal saya. Di Tripoli alhamdulillah nuansa religius sangat menyentuh, aura keislaman lebih kental, dan saya perhatikan ada jamaah yang tidak pernah pindah-pindah dari tempat yang sama. Saya lihat sejak hari pertama ke masjid sampai hari ini, tempatnya ya di tempat yang sama. Artinya dia adalah jamah aktif, bukan saja dari segi kehadiran ke masjid bahkan dari segi tempatpun di tempat yang sama. Di Jakarta, saya teringat orang yang melakukan hal yang sama untuk shalat jumat adalah (alm) Prof. Dr. Harun Nasution, mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Beliau sepanjang Jum’at berada di tempat yang sama. Artinya bisa kita bayangkan bahwa beliau datang pada awal waktu. Karena kalau terlambat bisa digantikan orang. Walau bagi orang yang tidak mengenal secara dekat, pasti banyak yang tidak tahu sikap keagamaan beliau. Karena yang beredar adalah ’nuansa’ negatif tentang islam leiberal, dan lain-lain, terutama yang hanya sepihak membaca kritikan Prof. Rasjidi lewat bukunya ”Kritik terhadap buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar