Seperti judul lagu saja, judul urak-arik yang saya berikan. Tadi ketika makan siang di KBRI saya mendapatkan komentar salah seorang Home Staff tentang Novel Ayat-Ayat Cinta, karya Habiburrahman El-Shirazy. Karena beliau baru membaca sehingga saya tidak mau menceritakan isinya agar tidak penasaran. Saya hanya katakan bahwa penulisnya kebetulan bersama saya di Hongkong selama seminggu bahkan pulang satu pesawat menggunakan Cathay pasific dari Hongkong-Jakarta pada bulan Februari 2007. Dari obrolan dengan Kang Abik (biasa dia disapa begitu, walau asli Jawa Tengah, bukan orang Sunda; kebalikan dari Utomo Dananjaya, orang Kuningan Sunda yang dipanggil Mas Tom). Beliau sangat ekpresif dengan cerita yang ada di dalam novel itu, seorang mahasiswa yang prihatin dengan kehidupan mahasiswa di Mesir, karena ketika berangkat dengan menggadai sawah milik ayahnya satu-satunya yang merupakan warisan kakeknya, berjualan tempe (di novel Ketika CInta Bertasbih), menerjemahkan buku, dan lain-lain. Beliau mengatakan andaikan kalau tidak karena jual sawah, Fahry tidak mau bersusah-susah pergi mengikuti talaqqi ke Syeikh di tengah terik panas matahari. Maksudnya adalah membandingkan dengan situasi mahasiswa Indonesia di Tripoli (Kuliyyat Dakwah Islamiyah) yang cengeng, manja, tidak kreatif, dan lain sebagainya.
Saya katakan bahwa mereka tidak lebih baik dari para Nakerwan (atau TKW, istilah kasarnya) yang berhasil menjadi penulis, pemimpin organisasi, bahkan sutradara yang pada tahun 2008 menjadi juara Eagle Award Metro TV, untuk film dokumenter berdasarkan kisah nyata kehidupan Nakerwan Hongkong yang menabung dan melanjutkan kuliahnya dan berhasil. Saya cerita sedikit tentang kegiatan sebagian para Nakerwan yang ikut aktif dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong. Walau saya hanya membaca hasil kumpulan karya cerpen mereka yang diterbitkan menjadi novel, judulnya, Hongkong, namaku peri cinta. Saya selalu banggakan di depan mahasiswamahasiswi saya di Paramdina maupun di Universitas Al-Azhar Indonesia, bahwa kalian yang bergelimang duit tidak bisa berbuat seperti mereka. Budayawa Taufik Ismail terheran-heran mengetahui energi yang sangat kuat pada diri mereka menjadi penulis. Hal ini juga dikemukakan oleh Asma Nadia ketika melatih penulisan ke Hongkong... Padahal mereka semuanya bekerja menjadi buruh migran yang mempunyai waktu sangat sedikit sekali. Pekerjaan mereka rata-rata jam 12an tengah malam baru selesai. Setelah itu mereka baru punya kesempatan menulis. Astaghfirullah... mereka bisa menghasilkan karya yang sangat baik di atas rata-rata. Hal itulah yang membuat Taufik Ismail tertegun melihat kenyataan demikian... memang tradisi orang Hongkong makan malam an tidur larut malam dan bangun jam 9 atau 10an pagi. Itulah kehidupan. Itulah long life education, dan dari situlah saya mengamati dan belajar.
to be continued...
Senin, 21 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar