Mahmoud Darwis (Maret 1941- Sabtu, 9 Agustus 2008) penyair berkebangsaan Palestina yang berjuang dengan pena lewat syair-syair perjuangannya. Mahmoud Darwis meninggal dunia di Houston, AS setelah gagal operasi di sebuah sakit disana. Jenazahnya pada hari Rabu, 13 Agustus 12008 dimakamkan disebelah makam pejuang Palestina, Abu Ammar Yaser Arafat, di Ramallah. Ribuan pelayat mengiringi pemakaman tersebut yang dirayakan secara resmi kenegaraan oleh Pemeritahan Otoritas Palestina, dan merupakan pemakanan secara kenegaraan pertama setelah pemakaman Yaser Arafat pada tahun 2004. Makamnya persis diatas dimana dia membacakan syairnya yaitu qasidah ‘La’ib al-nard’, dan ’mahattah qithar saqatha an al-kharithah’ pada bulan Juli 2007 lalu.
Mahmoud Darwis termasuk salah satu penyair Arab modern terkenal bahkan dalam kelompok penyair dunia. Perannya dalam penulisan lewat pena adalah perjuangannya melawan penjajahan dan pendudukan Israel terhadap tanah airnya Palestina. Dia berjuang dengan pena. Perjuangan pena tersebut telah membangkitkan semangat nasionalisme Arab melawan perlawanan dan pendudukan Israel terhadap Palestina, tanah suci umat Islam ketiga setelah Makkah dan Madinah. Ontologi pertama Darwis berjudul ‘Ashafir bila Ajnihah’ (Burung tak bersayap) terbit pada tahun 1960. Sejak itu terbit ontologi puisi yang lain seperti, ‘Awraq Zitun’ (Daun-Daun Zaitun), yang menjadi simbol perdamaian bagi perjuangan bangsa Palestina, khususnya puisinya yang berjudul, ‘Sijil Ana Araby’ (Catat, Aku seorang Arab), yang berisi tantangan minoritas bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel dan menolak naturisasi identitas Arab kepada 165.000 bangsa Palestina dan tetap bertahan membela tanah air mereka.
Sejak terbit ontologi pertama yang merupakan fase penciptaan kepenyariannya yang baru yang memungkinkannya eksis dengan ketersambungan pada kehidupan bangsanya yang tertindas, termasuk sebagai fase kesadarannya pada perjuangannya dan perjuangan bangsanya terhadap penjajah Israel dan pendudukan terhadap tanah airnya. Selama ontologinya terbit, dapat dikatakan semuanya merupakan fase perkembangan dan garis demarkasi antar ontologi. Ontologinya yang lain adalah, ‘Asyiq Palestina’ (Perindu Palestina) terbit 1966, ‘Akhir al-lail’ (Akhir malam) terbit 1967, ‘al-ashafir tamutu fi al-Jalil’ (Burug mati di kota al-Jalil, kota kelahiran penulis) terbit 1970, dan ‘Habibaty tanhadhu min nauwmiha’ (Kasih terjaga dari tidurnya) terbit 1970.
Mahmoud Darwis melampaui rekannya para peyair yang lain seperti Rasyid Husein, Tawfiq Ziyad, dan sahabat seperjuangannya Samih Qasim, khususnya ontologinya yang diterbitkan di pengasingannya dapat dianggap sebagai talenta dan anugerah seorang penyair yang dianggap sebagai penyair terpenting, bukan hanya di dunia Arab tapi juga pada level dunia. Karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa dunia dan mulai dibicarakan oleh berbagai kalangan termasuk kalangan yang mencalonkannya sebagai penerima penghargaan hadiah Nobel di bidang Sastra.
Mahmoud Darwis yang lahir di desa Barwah, kota Al-Jalil, Palestina Utara pada bulan Maret 1941, kemudian mengungsi ke Lebanon bersama keluarganya pada tahun 1948 setelah Israel resmi berdiri di atas puing negaranya Palestina. Kemudian kembali lagi ke Palestina bersama ibu dan saudarinya dengan terlunta-lunta ke Palestina. Peristiwa ini direkam oleh penulis Palestina yang lain, Emil Hubaibi dalam cerpennya, ‘Said Abu al-Nahs al-Mutasya’il’,. Setelah desanya dihancurkan tentara Israel, dia dan keluarganya mengungsi ke desa Dier Al-Asad, kemudian menetap dekat kota Aka di kawasan baru dimana dia menyelesaikan pendidikannya dan kemudian mengungsi ke Haifa dan bekerja di Surat Kabar Partai Komunis Israel. Disini ia mulai menulis puisi. Karya awalnya ini kemudian diperkenalkan oleh penulis Palestina, Ghassan Kanafani kepada dunia bersama sahabat-sahabatnya para penyair dan penulis Palestina yang lain, baik di dalam Palsetina yang luka pada tahun 1948 maupun dunia luar dalam karyanya, ‘Adab al-Muqawamah’, (Sastra Perlawanan).
Setelah melalui perjuangan panjang yang penuh luka, darah, bau mesiu, pengorbanan harta dan jiwa, akhirnya Mahmoud Darwis kembali ke pangkuan ibu pertiwi Palestina dimana dia bersemayam di tanah perjuangan Ramallah. Salah seorang pelayat, Muhamad Saqaf al-Hith berdiri disisi makamnya dan berkata, ‘Mahmoud Darwis tidak mati, karena sesungguhnya dia telah meninggalkan kekayaan pusisi yang hidup di tengah perjuangan bangsanya. Dia tetap menyala di hati bangsa Palestina’. Rahimallah Mahmoud Darwis. Inna lillahi wainna ilyahi rajiun.
Salah satu bait puisi Mahmoud Darwis: Kepada Ibuku…
إلى أمى .....
أحن الى خبز أمى .... / وقهوة أمى ، ولمسة أمى ... وتكبر فى الطفولة ، يوما على صدر يوم /
وأعشق عمرى لأنى / إذا مت ، أخجل من دمع أمى ! / خذينى ، إذا عدت يوما / وشاحا لهدبك ، وغطى عظامى بعشب
تعمد من طهر كعبك / وشدى وثاقى .. بخصلة شعر .. / بخيط يلوح فى ذيل ثوبك .. / عسانى أصير طفلا
طفلا أصير .. إذا ما لمست قرارة قلبك ! / ضعينى ، إذا رجعت / وقودا بتنور نارك .. وحبل غسيل على سطح دارك ، لأنى
فقدت الوقوف / بدون صلاة نهارك ، هرمت ، فردى نجوم الطفولة ، حتى أشارك / صغار العصاقير / درب الرجوع .. لعش
انتظارك ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar