Saya mau cerita sedikit kejadian soal tahlil. Peristiwa ini terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu dan sempat diliput oleh beberapa media cetak mungkin juga media elektronik. Kisahnya adalah meninggalnya seorang istri karena demam berdarah dan disusul oleh anak laki-lakinya yang juga meninggal dunia. Persoalannya adalah keluarga ini adalah keluarga kelas menengah, ayah dan ibunya seorang dokter spesialis dan mempunyai rumah sakit, dia tinggal di kawasan bagus (Kebayoran Baru), lingkungan rumah asri, terpelajar dan bekerja di sebuah Bank ternama. Ayah dan ibunya anggota kajia saya dan di pondk Indah dan saya menjadi salah satu narasumber ari beberapa narasumber yang lain seperti Wahyuni Nafis, Asep Usman Ismail, Mulyadhi Kartanegara, Zainun Kamal, Umar Sahab, dan lain-lain. Kebetulan saya juga diminta menjadi pemberi tausiyah pada acara takziyah tersebut.
Saat takziyah saya melihat beberapa jamaah yang dari penampilan mereka kita tahu dari kawasan pinggir Jakarta. ternyata mereka adalah anggota jamaah salah seorang keluarga shibul musibah, kelompok mushalla. Mereka membaca tahlil, karena keluarga tersebut adalah orang yang selam ini 'dalam tanda kutif' berpendapat tahlil adalah bid'ah. jamaah itu datang beberapa hari dan selalu dibacakan tahlil. Pada hari ketiga, acara lebih meriah karena dihadiri oleh rekan sekerja al-marhumah dari Bank, baik yang muslim maupun yang non-muslim. kawa2nya membacakan puisi dan pernyataan belasungkawa lainnya. Waau diselingi dengan tahlilan juga. Saya faham suaminya sagat terpukul, sedih dan seribu satu mcam perasaan kepedihan, karena memang keluarga muda bahkan putri bungsunya masih bayi. Singkatnya, pada hari ketiga itu, dia mengatakan terus terang, bahwa selama ini saya tidak menganut tahlilan, tapi ketika saya merasakan kesedihan yang sangat mendalam dan tidak ada yang dapat menghibur hati saya kecuali bacaan tahlil yang dibacakan oleh para jamaah.
nah.. mungkin ini menjadi sekelumit pelajaran bagi yang anti tahlilan. Ketika bisa 'garang' karena tidak ada persoalan. Tapi ketika mengalami musibah kehilangan orang yang paling dikasihi dan dicintai, apa yang kira-kira dilakukan.
Cak Nur pun ketika meninggal selama jenazah disemayamkan di Aula Kampus Universitas Paramdina dibacakan tahlil dan hari-hari berkabung berikutnya.
Yang paling bijak dalam soal ini, adalah saling menghormati antara yang megikuti faham tersebut dengan yang tidak ikut. Karena persoalan furuiyah ini sudah final dibahas oleh Imam Mazhab ribuan tahun lalu. Sehingga kita tidak habis energi untuk membahas yang tidak pernah habis-habisnya...
Minggu, 06 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar