Seri terakhir persoalan mahasiswa Indonesia Tripoli. Persoalannya adalah memang ada persoalan dalam mahasiswa itu sendiri. Terdapat banyak 'faksi' dalam tubuh mahasiswa yang sebenarnya merupakan wajah terpecah belahnya mahasiswa. Banyaknya kelompok yang saling toleran. Aneh.. Adanya kelompok NU, Muhammadiyah, Persis, Jamaah dan lain-lain, yang saling gotok-gontokkan. Pokoknya tidak akur. Bagaimana ahasiswa Islam dan kuliah di Kuliiyat Dakwah Islamiyah seperti itu, yang notebene bertentangan dengan Islam dan juga bertentangan dengan substansi ajaran Islam.
Persoalan kedua adalah rekruitmen dari tanah air yang menggunakan 'uang pelicin', sehingga kurang mempertimbangkan segi qualifikasi. Hal ini menyebabkan prestasi mahasiswa Indonesia di kuliah menurun dan hal ini dikatahui pihak pengelola Kulliyat Dakwah Islamiyah. Bahwa prestasui mahasiswa Indonesia semakin tahun semakin menurun prestasinya. Bagi mahasiswa yang nilainya rendah dan kurang prstasinya akan menyebabkan mereka tidak akan bisa melanjutkan kuliahnya di program S2. Nah.. masalahnya persyaratan Temus Haji mensyaratkan mahasiswa S2 dan S3. Mahasiswa yang keras memperjuangkan agar mahasiswa S1 dapat diikutsertakan pada program Temus - yang notebene bertentangan dengan peraturan umum Temus seperti yang dikeluarkan oleh KJRI Jeddah - pada hal tidak memenuhi syarat. Artinya batal demi hukum. Bagi mahasiswa yang berprestasi nampak enjoy saja, karena esempatan akan didapatnya ketika menjadi mahasiswa S2.
Hal ini juga dibuktikan oleh pengurus KKMI yang tidak sependapat dengan surat yang dikeluarkan oleh Ketua dan Sekretaris serta Badan Pertimbangan. Aneh.. Saya mendapatkan seorang pengurus bidang pendidikan yang justru berbeda dengan sang pengurus lainnya, dan mengatakan bahwa persoalan seperti yang ditulis di surat sudah selesai masalahnya. Aneh... kok persalan hubungan personal dengan organisasi disamakan. Saya katakan padanya, gubungan kita dengan pengurus yang menandatangani surat tersebut tidak ada persoalan, tapi persoalan secara organisasi harus diatasi secara organisasi juga. Karena surat sudah menyebar kemana-mana, bahkan ke luar negeri (Mesir dan Maroko) serta masyarakat. Kalau surat tidak diklarifikasi akan mengkhianati sejarah. Misalnya saja, nanti aa seseorang yang meneliti tentang Peranan KKMI dalam Hubungan Indonesia-Libya, dan mencari bukti-bukti tertulis sebagai bahan referensi mu mempertanggugjawabkan ketidakbenaran historis. Berdusta. nauzubillah.
Saya melihat bahwa persoalan internal dulu yang harus dibenahi. Diantara semua elemen mahasiswa harus ada toleransi mazhab yang tinggi. Tidak seperti sekarang yang main sikut sana sikut sini pada soal yang sepele dan mslah sudah final pada ulama dulu, seperti masalah tahlil contohnya. Kok masalah furuiyah yang simple saja menjadi besar, tidak mau hadir undangan kelompok yang menyelenggarakan tahlilan dsb..... Kenapa menjadi kerdil dan dunia menjadai teras sempit. Soal itu kan hak prerogatif Tuhan, bukan otoritas manusia untuk menyatakan doanya diterima atau tidak. Manusia hanya bisa memohon. Soal diterima tidaknya doa tadi, itu hk Tuhan. Jadi sebetulnya bisa diambil jalan tengah (tawfik) yaitu dengan melihat substansi masalah itu. Intinya adalah doa. Ketika undangan itu kita lihat sebagai pembacaan doa untuk kerabat/keluarga yang te;lah meninggl dunia, selesai persoalan, dan kita datang bersama-sama ke undangan, baik kelompok yang berfaham sama atau berbeda.
Saya jadi teringat pesan sahabat saya etika bertemu di Lembaga Pershabatan Indonesia-Libya di Kuningan bersama Pak Sanusi, yang akan berangkat ke Trpoli sebagai Dubes RI, Prof. Dr. Achmad Syatori Ismail. Pesan dia, tolong damaikan para mahasiswa disana. Saya pikir suasana keilmiahan mahsiswa Tripoli sama dengan mahsiswa Mesir. Beliau berbicara seperti itu karena beliau pernah mengunjungi Tripoli, dan Kuliyyat Dakwah Islamiyah tentunya.
Minggu, 06 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar