Di Tripoli Libya terdapat kurang lebih 120an mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di Kulliyat Dakwah al-Islamiyah, sebuah Universitas dibawah Organisasi World Islamic Call Society (WICS) pimpinanan Dr. Muhammad Ahmad Al-Syarif. Organisasi berwibawa di Libya dan banyak aktiftas dakwahnya ke berbgai penjuru dunia, terutama Afrika, Eropa Timur (Balkan), Asia dan lain-lain.
Mahasiswa yang belajar di Kulliyat Dakwah tersebut semuanya diasramakan plus makan dan uang saku setiap bulan, walau tidak besar. Perkuliahan di Libya, sama dengan Mesir, mengalami masa libur cukup, kurang lebih 3 bulanan pada musim panas, yaitu pada bulan Juli, Agustus dan September. Persoalan administrasi Kulliyat Dakwah berbeda dengan di Universitas Al-Azhar di Cairo. Kalau di Mesir semua urusan personal menjadi tanggungjawab mahasiswa, maksudnya seperti dokumen/pasport dipegang oleh pemiliknya. Tidak oleh pihak Universitas Al-Azhar. Berbeda dengan di Kulliyat Dakwah semua itu dipegang oleh pihak Kampus. Artinya ketika mahasiswa ingin ke luar Libya harus mendapatkan izin dari Dekan/Rektor dan semua administrasi exit permit juga diurus oleh pihak Kampus. Artinya mahasiswa tidak mempunyai kebebasan apa-apa. Hal ini menjadi beban psikologis bagi para mahasiswa yang semakin lama semakin mengkristalisasi dalam diri mereka. Karena persoalan administratif ini mereka tidak banyak melakukan 'journey' dalam masa liburan kuliah. Dari pihak kampus juga cukup bijaksana untuk menambah uang saku mereka, yaitu dengan membuat 'kerja bakti sekitar kampus' dan diabayar di luar beasiswa yang diberikan.
Berbeda dengan mahsiswa diMesir yang sangat kreatif karena mereka bisa menentukan kemana mau mereka selama mengisi liburan. Pada zaman saya banyak mahaiswa Mesir yang mencari 'pengalaman kerja' di Eropa seperti Belanda, Jerman atau Italia. bahkan ada seorang teman saya yang dipulangkan dari Belanda ke Indonesia, bukan ke Mesir. Selain itu mereka juga bekerja sebagai Tenaga Musim (Temus) pada musim haji di KJRI Jeddah (Fungsi Haji KJRI Jeddah). Karena Temus quota sangat terbatas mereka mencari pekerjaan sebagai guide/muthawif pada Biro Perjalanan Umrah Haji Indonesia yang jumlahnya sekarang lebih dari 400 buah Travel. Bahkan banyak juga yang bekerja pada Muassasah dan lain-lain. Karena mereka mendapatkan kebebasan untuk memilih kemana maunya.
Psikologis (kebebasan) ini tidak ada pada mahasiswa Indonesia di Tripoli, sehingga ketika ada peluang yang sangat terbatas terakumulasi pada peluang tadi. Contohnya, misalnya jatah Temus Haji di KSA tahun 2008. Tripoli diberikan quota hanya 6 orang, dengan persyaratan yang disampaikan oleh pihak Fungsi Haji KJRI Jeddah antara lain, usia antara 25-50 tahun; diprioritaskan mahasiswa S2-S3 (yang sedang riset thesis dan disertasi) dll. Pihak KBRI Tripoli melaksanakan fungsi dan kewajibannya dengan mensosialisasikan kepada pihak KKMI (Kerukunan Keluarga Mahasiswa Indonesia) Tripoli; bahkan mengundang mereka ke KBRI, kebetulan saya hadir dalam rapat tersebut.
Tapi yang justru usaha mereka menyalahkan pihak KBRI karena tidak mengikutsertakan mahasiswa S1. KKMI lewat pengurus dan Ketua serta Badan Pertimbangan ngotot agar mahsiswa S1 diikutsertakan, yang notabene bertengtangan dengan aturan yang dikeluarkan pihak KJRI Jeddah. Tapi pihak KBRI Trpoli mengambil kebijaksanaan dengan mempertimbangkan mahasiswa tingkat akhir yang sudah selesai tapi hanya menuggu pengumuman kelulusan dipertimbangkan dan akan diusulkan ke KJRI Jeddah agar dapat dipertimbangkan menjadi Temus Haji 2008, degan syarat mendapat izin dari pihak Rektor/Dekan Kulliyat Dakwah dan diizinkan tinggal di asrama sampai keberangkatan mereka pada awal bulan Nopember 2008. KBRI meminta hal ini, tapi tidak dapat direalisasikan oleh KKMI sampai blog ini ditulis.
Mereka bukannya melakukan yang diminta, tapi malah membuat surat yang ditujukan kepad KBRI Tripoli, yang bernada 'fitnah' dan tidak pantas dan tidak elegan, yang ditembuskan kepada Perwakilan Mahasiswa MEsir (maaf kalau saya keliru) dan Juga ke Maroko, dan masyarakat Indonesia di Tripoli Libya. Jadi, inti persoalan yang sudah tuntas oleh KBRI berdasarkan peraturan KJRI Jeddah dipelintir oleh sebagian mereka bahkan dengan mendatangi rumah-rumah warga masyarakat Indonesia di Tripoli.
Saya heran, melihat kenyataan tersebut, kok mahasiswa Kulliyat Dakwah Islamiyah, gak bisa membedakan mana yang fitnah dan mana yang benar. Sambil guyon kepada kawan saya bilang 'Innalillaahi wa innaa ilayhi raajiuun'. Bagaimana menjadi panutan umat, kalau perssoalan sepele saja seperti itu tidak faham.
Bhkan mereka tidak mengerti 'adab al-ikhtilaf' ketika silaturahmi di rumah Home Staff acara silaturahmi dijadikan ajang debat dengan Duta Besar, yang sebenarnya masalah tersebut sudah final pada pertemuan dengan KBRI 4 Juni 2008. Sangat tidak etis dan wajar sikap mereka. Tapi Pak Dubes sangat mengayomi dan mendidik, bahwa persoalan mereka akan ditampung dan pihak KBRI Tripoli akan mengirim nama-nama mereka (sebanyak 12 orang) ke JRI Jeddah dengan syarat besok (waktu, Ahad, 29 Juni 2008) sore sudh masuk ke KBRI, karena melihat waktu yang semakin dekat pada proses Temus bagi Panitia Haji di Jeddah. Tapi, lagi-lagi mereka tidak melakuan kesepakatan yang disepakati (Mereka 'Sami'na wa Ashayna). Aneh... memang, tapi begitulah kenyataannya. Insya Allah akan diteruskan di blog berikutya..
Selasa, 01 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar