‘Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan’.
Demikian preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap umat manusia karena pada hakikatnya manusia tercipta dalam keadaan merdeka. Kemerdekaan merupakan hak dasar setiap manusia.
Berbicara tentang kemerdekaan dalam konteks kebangsaan Indonesia perlu penetrasi lebih dalam karena penuh dengan nilai-nilai penegakan kemerdekaan individual bangsa Indonesia. Para pejuang dan kesuma bangsa sangat menyadari makna kemerdekaan tersebut karena mereka merasakan betapa pahit dan menderitanya hidup di alam penjajahan dan ketidakmerdekaan. Oleh sebab itu, pengorbanan yang berdarah-darah, jiwa, nyawa, harta dan sebagainya menyertai perjuangan mereka. Makna kemerdekaan dan nilai-nilai kemerdekaan tersebut tidak hanya dimaknai dalam konteks dibawah penjajahan asing yang menguasai dan menduduki negara tertentu, tapi ia sendiri berada dalam konteks semua zaman dan masa. Kapanpun, setiap ketidakmerdekaan dirasakan oleh setiap manusia dan negara, maka sesungguhnya kemerdekaan hakiki belum dinikmatinya.
Mengutip Cak Nur, bahwa kita masih dalam proses, belum sampai pada tujuan. Oleh karena itu perjuangan pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kebangsaannya harus mendapat dukungan dan partisipasi kita semua, rakyat dan bangsa Indonesia, baik yang berada di tanah air maupun yang berada di luar negeri. Apalagi kita yang bekerja di Libya maka ‘makna dan nilai’ kemerdekaan tersebut menjadi pertaruhan watak kinerja kita semua. Dalam arti bahwa sebagai manusia yang merdeka identik harus sejalan dengan ‘nilai-nilai kualitas dan kewujudan kemerdekaan’ secara maksimal. Apa yang kita kerjakan dalam bidang tugas dan pekerjaan tersebut merupakan bentuk makna kemerdekaan hakiki dan itu sudah cukup sebagai sumbangsih terhadap Negara. Untuk memperjelas makna filosofis diatas, adalah secara kreatif kita mengerjakan tugas dan tanggungjawab terhadap pekerjaan kita tanpa melihat diperhatikan atau dilihat atasan. Ini yang saya maksudkan dengan ’nilai-nilai dan makna kemerdekaan’. Makna ini lawannya adalah ‘budak’ atau ‘perbudakan’. Orang yang merasa dirinya sebagai ‘orang meredeka’, bukan budak dia akan bertanggungjawab secara penuh dan jujur terhadap pekerjaannya tanpa ada pengawasan dari orang lain. Pengawasan itu ada dalam dirinya, yaitu hati nurani dan Tuhan. Makna kemerdekaan dan budak tersebut tepat dengan adagium bahasa Arab, ‘Al-Abdu yudhrabu bi al-asha, wa al-hurru yakfi bi al-isyarah’. ‘Budak (megerjakan kewajiban dan tugaasnya) harus dipukul dulu dengan tongkat, sedangkan orang merdeka cukup dengan isyarat saja sudah faham kewajiban dan tugasnya’.
Semoga dengan peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1945 dan semangat perjuangan para pejuang yang mendahuluinya menjadi pedoman dan tolok ukur kita untuk berjuang di alam kemerdekaan Republik Indonesia dalam konteks yang lebih luas dalam ‘nilai-nilai dan makna kemerdekaan hakiki yang sesungguhnya’. Jangan seperti budak yang bekerja harus dicambuk dulu. Semoga… (http://www.fakirilmu.blogspot.com/)
dimuat di Bulletin Baraka, KBRI Tripoli, Libya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar