Alkisah, ada seorang yang dimasukkan ke surga, padahal dia merasa hal itu tidak pantas baginya. Dia merasa bahwa ketika di dunia amal ibadahnya tidak ‘luar biasa’, dan super alim. Shalatnya biasa saja. Puasa juga begitu. Tapi tidak pernah meninggalkan maupun melalaikannya. Tapi kenapa kok ditempatkan di tempat yang ‘begitu’ mulia disisi Tuhan.
Dia sendiri mengingat-ingat perbuatan apa gerangan yang menyebabkannya bisa mendapatkan tempat tersebut. Karena dia merasa ketika di dunia amal perbuatan ibadah ‘mahdahnya’ pun tidak ada yang istimewa. Ketika ditanya, “Pernahkah kamu menanam pohon buah sewaktu di dunia dulu”?. Dia pun langsung ingat. “Ya, betul ketika di dunia saya banyak menaman pohon buah di lahan milik saya yang tidak terlalu luas. Saya niat dengan menanam pohon buah tersebut yah siapa saja boleh menikmati bila tertarik. Memang, saya mempersilahkan siapa saja untuk mengambil buah tersebut bila suka. Bahkan saya melihat setiap pagi burung-burung berhinggapan dari mana-mana, bercengkerama, sendagurau, bernyanyi, bahkan bercinta, berjingkrak, berkicau dari satu dahan ke dahan yang lain dengan riangnya”. “Tahukah kamu bahwa burung-burung tersebut berterima kasih kepada kamu dan mendoakan kamu kepada Tuhan. Itulah yang menyebabkan kenapa kamu dimasukkan ke dalam surganya. Sebaliknya berlaku hukum yang sama. Ketika seseorang menghianati tugas di tempat kontrak kerjanya, di perusahaan, proyek, kantor, majikan, termasuk juga KBRI dan lain-lain tempat , - bisa jadi dia merasa ibadahnya sudah bagus, alim dan pandai karena alumni perguruan tinggi Islam dan keangkuhan lainnya,- tapi justru perhitungan salah. Malah sebaliknya dimasukkan ke dalam neraka”. Tentu saja orang tadi terperangah dan protes. “Kenapa saya dimasukkan ke dalam neraka?” protesnya. Dijawab, “Bukankah dulu kamu melakukan pekerjaanmu itu karena bos, pimpro, majikan, pimpinan dan atasan. Bukan karena Allah. Ketika mereka tidak ada kamu lalaikan tugasmu dan tidak bertanggungjawab. Kamu melakukan semua itu dengan niat hanya mencari harta dan dunia sebanyak-banyaknya. Kamu lupa niat kamu semula. Kamu tidak sadar kalau Tuhan sedang merekam perbuatanmu”. Demikian kira-kira dialog yang terjadi.
Sahabat, dari kisah profetik diatas kita bisa mengambil hikmah, - orang yang bisa melakukan hal itu adalah orang yang paling bijak, demikian kata Imam Syafi’i, - membuka matahati dan nurani, kembalikan semua itu kepada Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita bekerja jauh meninggalkan tanah air ribuan kilometer bila hanya nantinya ketidakbernilaian disisi Tuhan yang diperoleh, untuk apa?, Walau materi kita dapatkan. Apalah artinya sebuah materi dan keduniawian. Bahkan ia bisa menjadi penyebab dan penghalang kebahagiaan hakiki kita. Oleh karena itu, mulailah dengan ‘nawaitu’ yang lurus, semoga semua pekerjaan kita dilandasi niat yang tulus pada Tuhan, komitmen pada pekerjaan, saling menolong antar sesama walau sekecil apapun, Insya Allah, dunia dan materi kita peroleh, begitupun ganjaran dari Tuhan. Semoga, Amin. (Dimuat di Bulletin Baraka, KBRI Tripoli, Libya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar