Selasa, 06 Oktober 2009

BEBERAPA PERSOALAN MAHASISWA INDONESIA DI TRIPOLI, LIBYA

BEBERAPA PERSOALAN MAHASISWA INDONESIA DI TRIPOLI, LIBYA

Mahasiswa Idonesia yang belajar di Libya, kurang lebih sekitar 130-an yang kesemuanya belajar di Kulliyah Dakwah Islamiyah (KDI), Tripoli. Kulliyah tersebut dikelola oleh World Islamic Call Society (WICS), dalam bahasa Arabnya, Jam’iyah Dakwah al-Islamiyah al-Alamiyah dipimpin oleh Dr. Mohamed Ahmed Sherif sebagai Sekjen WICS. Bagi masyarakat Indonesia di tanah air masih sulit memahami konteks eksistensi WICS ini, jangankan bagi masyarakat awam, bagi para nukhaba juga masih seperti itu. Hal ini terbukti dari komentar delegasi MTQ RI yang menghadiri MTQ Internasional Al-Fateh baru-baru ini (23-29 September 2009). Kalau boleh saya analogikan seperti ini, bahwa WICS itu seperti Al-Azhar di Mesir yang mempunyai Grand Sheikh, sedangkan KDI adalah seperti Universitas Al-Azharnya, barulah jelas gambarannya bagi mereka. Karena Al-Azhar dengan segala elemennya sudah bisa dipahami eksistensinya di tanah air oleh banyak kalangan.

Persoalan mahasiswa Indonesia yang berada di Tripoli merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh Munassiq Am Du’at (semacam yang mewakili WICS di Indonesia) yaitu K.H. Muhyiddin Junaidi, (saat ini juga Ketua MUI Pusat Bidang Kerjasama Hubungan Luar Negeri). Seleksi tersebut dilakukan bersama beberapa ormas Islam lainya. Oleh karena itu latar belakang para mahasiswa di KDI menjadi sangat beragam yang terdiri dari Muhammadiyah, NU, Persis, Al-Wasliyah, dsb; dan juga dari beragam pesantren. Ada yang dari ponpes modern, salafy, tradisionil, dsb. Juga dari sisi latar belakang daerah, memang mayoritas dari Jawa-Sumatera. Yang dari luar daerah tersebut masih sedikit, seperti Indonesia Tengah dan Timur serta Lombok Bali, walaupun kawasan tersebut lebih ‘awlaa’ (urgent) ketimbang kawasan lainnya ditinjau dari sisi dakwah Islam. Sebenarnya keragaman tersebut sangat bagus untuk lebih bisa belajar tentang keragaman kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang multi cultural. Tapi kenyataannya ditengarai yang terjadi bukan dalam makna positif seperti yang diinginkan, tapi lebih pada makna negatif dalam implementasi kehidupan sehar-hari. Seperti terjadi adanya mazhab-mazhab, kelompok-kelompok itu sendiri. Hal ini saya dengar langsung dari K.H. Muhyiddin Junaidi sendiri, dan juga dari berbagai mahasiswa. Saya mengaggapnya itu sebagai dinamika yang bagus cuma harus perlu bimbingan para senior sehingga tidak menjurus pada aspek negatif, seperti sekteraianisme, perpecahan dsb.

Selama ini saya mendapat kesempatan beberapa kali pertemuan dengan pihak WICS maupun dengan Dean KDI. Pertama dalam rangka mendampingi Dubes RI untuk Libya, kemudian menemani beliau bersama Rektor IIQ Jakarta Dr. Ahsin Muhammad Sakho, yang datang ke Tripoli sebagai anggota Dewan Juri MTQ Int. Al-Fateh dan terakhir menemui Dean mengurus persoalan mahasiswa. Dari pertemuan-pertemuan dengan Dean KDI, mahasiswa Indonesia selalu mendapat sorotan beliau. Pertama mahasiswa Indonesia merupakan jumlah terbesar diantara jumlah mahasiswa dari negara-negara lain. Dari total 1000 orang mahasiswa yang dikelola WICS dan KDI, jumlah mahasiswa Indonesia lebih dari 13 persen yaitu sekitar 130-an. Bahkan beliau mengatakan akan menjatahkan jumlah mahasiswa Indonesia yang diterima sesuai dengan jumlah mahasiswa yang lulus (proporsional) kelulusan. Bila yang lulus hanya 10 orang, maka yang diterima pun sejumlah itu. Sorotan kedua, bernada negative bahwa prestasi mahasiswa kian tahun kian menurun kualitasnya. Saat pertemuan pertama, beliau komplain mengenai mahasiswa yang males kuliah dan akhirnya dikeluarkan (DO). Dean sangat keras memprotes kenyataan ini dan menurutnya aneh. Karena mahasiswa tersebut ada di kamar tapi tidak mau kuliah. Tapi ketika dia secara mendadak dibelikan tiket dan dibawa ke airport on the spot, barulah mahasiswa tersebut menangis dan menelpon senior untuk meminta bantuan agar dibatalkan pemulangannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Komplain kedua, Dean bertanya mengenai bahasa Inggris di Indonesia sejak kelas berapa mulai diajarkan di sekolah. Saya jawab sejak kelas satu SD. Bagus, jawab beliau. Tapi mengapa kemampuan bahasa Inggris mahasiswa Indonesia di KDI sangat lemah, bahkan banyak yang tidak lulus. Kami mengatakan bahwa mereka mayoritas berasal dari pendidikan tradisonal (pesantren) dan pesatren juga sangat beragam. Tapi memang ada yang dari pesantren modern yang kedua bahasa asingnya kuat seperti bahasa Arab dan Inggris. Tapi juga ada yang berasal dari pesantren tradisional dimana bahasa Inggris masih ada yang tidak diajarkan, bahkan mengharamkan diajarkan kepada santri karena bahasa orang kafir; bahkan juga masih ada yang tidak membolehkan pakai celana panjang. Jadi kondisinya sangat beragam. Komplain ketiga, dan ini yang sangat pedas ketika saya menghadap sediri dan disaksikan oleh beberapa staf KDI terutama dari Bagian Ujian (Imtihanat) mengurus dan memohon mahasiswa yang juga terancam DO karena tidak mengikuti satu mata kuliah pada ujian gelombang kedua. Komplain lebih tegas bahwa dia tidak setuju adanya intervensi pihak luar terhadap otoritas bagian Imtihanat karena akan mengurangi bobot ilmiah Universitas. Bahkan Dean sendiri tidak boleh ikut campur urusan kelulusan dan ketidaklulusan seorang mahasiswa. Bagian Imthanat mempunyai hak otonomi untuk menjalankan fungsinya. Istilah beliau ‘tidak ada syafaat’ bagi mahasiswa di Bagian tersebut. Saya menjelaskan bahwa surat permohonan tersebut hanya memohon kepada pihak Dean agar dipertimbangkan diberikan kesempatan mengikuti ujian ulangan (susulan) karena pada saat ujian tersebut diadakan yang bersangkutan sedang sakit sehingga tidak dapat mengikutinya. Dean malah menjadi naik darah dan dengan nada keras bilang, kenapa tidak ke klinik yang ada di kampus (asrama) dan meminta surat dokter yang menyatakan tidak dapat mengikuti ujian pada saat itu. Andaikan hal itu dilakukan oleh mahasiswa, tanpa adanya permohonan juga pihak Imtihanat akan melakukan kerjanya untuk menyusulkan ujian si mahasiswa. (Memang kesalahan mahasiswa tadi tidak meminta surat dokter). Bahkan Dean marah dengan mengatakan di depan saya, bahwa jangan percaya omongan mahasiswa karena pembohong. Dean bilang, mahasiswa (saat itu) tidak berada di tempat (kamar/asrama), dan pergi ke madinah (downtown) dan megaku sakit tidak ikut ujian. Jagan percaya laporan semacam itu. Persoalan pun melebar, pihak bagian Imtihanat mengatakan bahwa mahasiswa tsb adalah mahasiswa dhaif mustawa (levelnya lemah) dimana sudah 8 tahun kuliah dan selalu tidak lulus pada ujian gelombang pertama. Pada ujian kali ini juga dia mempunyai MK 8 buah yang harus diujiulang dan satu MK tidak mengikutinya karena alasan sakit. Dan hasil ujian susulan gelombang kedua pun nilainya hanya fifty-fifty saja.

Menurut pengamatan saya, persoalan yang saya ceritakan sedikit diatas merupakan benang kusut yang persoalannya harus diurai sejak dari Indonesia pada saat seleksi. Apakah seleksi tersebut benar-benar menerapkan asas qualifikasi atau hanya sebagai kamuflase. Saya tidak tahu. Tapi memang tidak semua mahasiswa yang dikirim qualifikasinya lemah. Banyak yang bagus prestasinya. Tapi disela-sela itu masih ada saja yang qualifikasinya dibawah standar. Dan yang gagal dan bermasalah adalah mahasiswa yag mempunyai qualifikasi dibawah standar tadi. Saya kira mereka adalah korban, seperti kedekatan tokoh, pertemanan atau KKN yang lainya. Sebenarnya soal KKN tsb masih bisa ditolerir, walaupun tetap tidak boleh, asal asas qualifikasi tetap dijalankan. Persoalan-persoalan seperti itu juga saya sampaikan kepada pimpinan terutama yang membidangi sosbud agar selalu memperingatkan soal perkuliahan para mahasiswa agar menyadari tugas dan tanggugjawabnya sebagai duta bangsa. Dubes sendiri sering kali mengingatkan hal tersebut dalam berbagai kesempatan perjumpaan dan pertemuan dengan mahasiswa di KBRI. Juga masyarakat Indonesia yang sering dikunjungi mahasiswa agar mengingatkan tugas dan tanggungjawab belajar mereka. Saya mengharapkan juga adanya kesadaran para senior (mahasiswa S2) atau pun para mantan mahasiswa yang sudah bekerja di KBRI menjadi pioneer dalam pembinaan adik-adik mahasiswa dengan pertimbangan mempunyai kesadaran moral karena sesungguhnya mereka dibiayai oleh dana zakat pemerintah dan rakyat (umat) Libya melalui rikaz kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang dananya dikelola oleh WICS. Dalam hal ini Libya merupakan contoh yang baik dalam mengelola zakat melalui lembaga Dakwah Dunia yang dananya diambil dari kekayaan negara. Dari kantong WICS inilah dakwah Islam menyebar ke belahan dunia seperti Afrika, Amerika Latin, Balkan, Filipina bahkan Sentul Bogor (Indonesia) dengan pembangunan Gaddafi Islamic Center (GIF)nya. Wallahu a’lam !!!